Short Story: Di Balik Kenyataan


Teman-teman discoverer, kali ini saya kembali dengan enthusiast yang tinggi, mengapa? Karena baru-baru ini ada sesuatu yang melayang-layang mengitari pikiran. Sebuah karya secuil, bermakna dalam. Sebuah cerita tentang seseorang di balik tugas sebagai dokter untuk korban-korban bunuh diri, korban over-emosi, korban kepasrahan hidup, ia akhirnya mendapatkan kejutan dari secuil remeh yang berhasil diselamatkan. Bingungkan? Mari simak karya Muhammad Iqbaludin yang satu ini.



Di Balik Kenyataan

Alunan piano yang tak henti-henti, seolah-olah alunan itu dapat berubah kapan pun dan di manapun, sesuai dengan gejolak emosi yang meluap dari dalam dirinya. Terkadang alunan musik klasik yang menguasai tabir pikirannya, letih mendengar yang itu-itu saja. Gugusan warna yang mencitrakan esensi keindahan, garis-garis wajah berpotensi menggarit estetika tiada tara, ia mengenal guratan lini pada permukaan kertas glossy, ujung bibirnya terangkat seper sekian derajat. Alunan musik di berangkas neuronnya berubah, mengalun lembut melirihkan hati. Ia pergi.
Awal yang indah adalah harapan semua orang, bahkan keindahan itu berupa wujudnya, sesuai dengan emosi yang berpendar. Orang-orang aneh sekalipun berharap yang indah-indah, namun tak banyak orang yang mengerti. Mereka memiliki keindahan yang berbeda.
“Melingkarlah wahai ranah putih sejati // segejolak darah yang membuih menanti.”
Setelah itu, kedua matanya menanar dan seketika pandangannya jauh menerawang menembus dimensi yang tak berbatas, sikapnya tak menentu. Aku di dunia mana?
“Dia mengalami penyakit Schizophrenia.” Aku yakin pasti benar. Diagnosa sang dokter ahli psikologi, lantaran ia menerawang jauh dari berbagai macam aspek-aspek sekecil remeh yang berpotensi menunjukkan kebenaran. Diagnosanya adalah sebuah mata air yang menjadi alasan adanya sebuah muara. Mereka yang tidak menderita adalah muara. “Jadi dok, maksudnya anak saya...”
“Tidak Bu, dia tidak gila.” Seakan orang bermata empat itu dapat mengidentifikasi maksud pertanyaannya dengan mantap, “hanya saja, ia butuh kasih sayang yang sangat tinggi, terapi, dan obat antipsikotik. Barangkali Ibu bisa ke ruangan saya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan.”
Schizophrenia, secara bahasa berarti penyakit lantaran memiliki kepribadian yang terbagi. Sebuah penyakit psikologi yang mampu melemahkan penderitanya karena ia akan terus dihantui oleh banyak gejala. Dimulai dari halusinasi mendengar suara-suara aneh, delusi, berucap semrawut, acap kali tidak tertarik berinteraksi dengan lingkungan sosial. Demikian sesingkat-singkatnya penjelasan dari manusia bermata empat yang mereka sebut dokter itu.
Air mata yang semakin membanjiri orang tua itu tak menuruti kemauannya. Mengalir sealami mungkin, mendengar penjelasan yang membakar telinga hingga proyeksinya pada kantung mata yang meletup. Seakan anaknya begitu terkutuk, harus mengalami nasib yang sama dengan ayahnya –si kakek penderita. Alasannya sederhana, karena cinta.
“Apa yang membuatnya demikian bu?”
“Saya terlalu bodoh untuk mengatakannya, tapi saya adalah orang yang tepat untuk disalahkan,” matanya jauh menerawang masa kelam dan menimbang sebuah sebab-akibat, “saya terlalu menelantarkan anak saya, karena alasan kesibukan pekerjaan. Beberapa temannya bilang awalnya dia baik, ramah, dan pemurah, namun setelah itu tiba-tiba ia sering pulang dengan badan tertatih-tatih, memegang kepala, dan tak henti-henti menertawakan apa saja yang ada, begitu dok.”
Iba mendengar kejadian itu, si dokter hanya mampu meneguhkan hati orang tua ini agar ia berhenti melakukan sesuatu yang mengakibatkan hal serupa pada anaknya. Berarti dia memiliki tekanan sosial, di umurnya yang ketujuh belas, mungkin saja. Diagnosanya terputus.
“Bagaimana maksud ibu tadi?” Aku perlu menimbang kembali, mungkin saja ini berhasil. Kemudian sang ibu penderita tadi mengulang ucapannya dengan pilu.
Andaikata dua orang yang tengah berbagi dan menentukan itu berada pada dimensi di mana tak mengenal ‘detak jam berputar’, sehingga tidak usah mereka merasakan berjalannya waktu demi usaha penyelamatan seorang remaja penderita Schizophrenia, anak si Ibu.
Di tengah-tengah sesi penyusunan strategi penyembuhan, dering teleponnya berbunyi.
“Pak Frans, ada yang ingin bertemu dengan anda.”
Siapa yang ingin bertemu? “Di mana orangnya Mba’ Rahma?”
“Di halaman Pak, katanya ditunggu tepat di sana.” Telepon diakhiri.
Si dokter itu mengiakan. Jas putih yang dikenakan sudah terlihat agak kusam, ia telah lama duduk menunggu di ruangan berukuran 5x5 –sesuai ruangan dokter pada umumnya, terlihat dari perubahan air wajahnya yang semakin menikmati proses, juga mempercepat proses.
“Bu, ada yang ingin saya bagi dengan ibu,” ia berdehem sebentar, mengatur pola kalimat yang akan dikatakannya nanti, “jadi pada dasarnya, penyakit anak ibu berasal dari tekanan jiwa, secara umumnya remaja, masa di mana mulai berkembangnya hormon estrogennya sehingga memungkinkan ia tertarik pada lawan jenis, dalam hal ini ada sebuah pertanyaan yang mengusik saya,” sang dokter mengambil ancang-ancang, “anak ibu pernah jatuh cinta dengan lawan jenisnya?”
Saya seorang ibu yang memalukan, bahkan tentang anak sendiri saja tidak tahu-menahu. Si Ibu diam, menyesal. Melihat guratan wajah yang berubah, dokter yang bijak itu mengalihkannya, “baiklah, anggap saja dia punya.”
“Jadi tugas ibu, membuatnya sembuh, simpan penyesalan ibu saat ini, yang terpenting hal ini adalah kelalaian ibu dalam mengasuh dan mendidik. Jalan yang lain, juga dapat ditempuh, tanyakan kepada teman dekatnya jika sekali pun tidak punya, tanya pada teman sebaya yang pernah bermain dengannya. Jika saat itu dia orangnya baik, pemurah, dan ramah, sebagaimana ibu katakan tadi, pastilah ia memiliki beberapa kawan, tanyakan siapa perempuan yang pernah menarik perhatiannya, maka hadirkan anak itu dalam waktu seminggu sekali tepat di depan matanya! Kesehatannya ada di tangan anda.”
Kepiawaiannya di dunia psikologi dan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa, menyadarkannya akan nikmatnya hidup, sesekali ia melirik sana-sini, seakan tempatnya ada di tengah-tengah korban sosial, kekerasan, dan korban bunuh diri. Mereka yang membunuh diri mereka sendiri. Menyadari betapa pentingnya luapan emosi yang minim, betapa bahayanya jika terlalu dalam mengerjakan sesuatu, betapa ngerinya kekuatan pikiran negatif, dan betapa-betapa lainnya yang memiliki maksud menciderai.
“Terima kasih Dok, pasti akan saya lakukan.”
“Jaga anak Ibu sebaik mungkin, siapa tadi namanya?”
“Kiki.” Jawab si Ibu, “iya, Kiki, saya harus bertemu seseorang jadi mohon maaf jika hanya ini yang dapat saya berikan,” mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan garis lurus bersambung, lebih mirip dengan sandi-sandi berbentuk rumput. Itu resep. Selesailah tugasnya, tapi tanggung jawab sebagai pendiagnosa belum selesai secepat itu. Semoga Kiki cepat menemukan kebenaran, aku sangat berharap.
Semburat merah sudah menguasai hampir seluruh langit, remang-remang cahaya konstan yang mereka sebut bintang telah terlihat, benda bulan melayang sedikit lagi sukses menerangi bumi yang sudah terkantuk-kantuk, orang di halaman itu masih menunggu apa yang ia tunggu.
Halaman rumah sakit itu sangat indah, bahkan siapa pun sulit menyangka bahwa itu berada di tengah-tengah manusia super yang lirih akan diri mereka, namun tempat itu memberi kesan yang berbeda dari kenyataan. Bunga-bunga yang sedari tadi tampak cerah, kini sudah sedikit masam, digantikan oleh pancaran cahaya dari lampu taman cantik. Seseorang muncul di tengah-tengah keindahan itu, seorang wanita.
“Hana, kamu ada di sini?” Sambutnya, setelah melihat sosok itu dari dekat, seorang wanita dengan wajah yang memerah, ujung bibirnya tertarik, ia tak mampu menahan senyuman itu.
“Hana sayang pak dokter.” Dengan polos perkataannya menyabit hati dokter itu seketika. Walaupun cahayanya berpendar hanya sebagian dari wajahnya, ia terlihat manis dari sebelumnya. Kompensasi apakah ini? Kehangatan terpancar dari kedua matanya, di mata seorang gadis berumur selisih tiga tahun dari si dokter. Seorang gadis yang menjadi penggemar fanatiknya sejak kuliah, seorang gadis yang pernah disakitinya sejak itu, dan seorang gadis, pengidap Schizophrenia yang sama. Ia telah sembuh, dokter itu yang memberikannya, dari lubuk hatinya terdalam. Kata ‘sayang’ itu yang pertama kalinya bagi si dokter, dan ia merasakan makna terdalam darinya. Mendengar ucapan polos gadis berumur 21 tahun itu, ia hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut hitam pekat yang bergelombang. Akhirnya perasaanku sampai.

Alunan musik di kepala mereka berubah sangat... indah.

Written by. Muhammad Iqbaludin | ©Marxent Short Story 2015
Original Writing Idea.

Share:

0 comments