Short Story: Sederhana...

Assalamu'alaikum, wr. wb. Discoverer sekalian, kesempatan kali ini, penulis kerap menghadirkan sebuah cerita pendek, sederhana, dan memprioritaskan sebuah kebersamaan. Suatu yang amat sangat mudah, juga sangat sukar dicari. Untuk itu sebagai makhluk sosial kita seharusnya dapat melucu bersama, meluapkan rasa kesal bersama, apa pun bersama, asal tidak menyinggung personality masing-masing, itu sendiri aja deh. Great, penulis ingin berbagi sebuah cerita pendek berjudul...

Sederhana...
Kau tahu ketika seorang penulis berusaha mengobrak-abrik gugusan kata yang seharusnya sudah tepat pada tempatnya, tetapi ia lebih menginginkan gugusan lebih. Dunia ini sangat luas untuk mencangkup seluruh ide-ide dari berbagai macam makhluk, mereka saling mengejar, saling beradu, saling, berlomba. Imago, oh imago, apakah dia? Demokritus memang sesosok aneh yang memulai kata tersebut, entahlah apa artinya, sebenarnya bukan hal itu yang ingin kubagi di momen ini.
Kau tahu ketika seorang penyanyi menikmati setiap baris lirik-liriknya, mencoba untuk menampilkan sebuah personalitas yang membahana, menunjukkan kredibilitas sebagai manusia kreatif di muka bumi, setidaknya begitu. Sederhana saja, ketika seorang yang tidak memiliki apa-apa, ia akan berusaha mencari yang disebut apa-apa itu. Manusia, makhluk yang bebas dari pembatas, diciptakan dengan extraordinary mind, satu buah peranti berfungsi sebagai berangkas ide, data-data, dan, mimpi. Orang-orang di sini juga termasuk manusia yang dimaksud.
“Berani kau ya,” lanjutnya dengan terbahak-bahak. Sekumpulan orang penggila musik yang sedari tadi berdiskusi bebas tentang bentuk dan genre kesukaan. Di lain sisi, ternyata mereka memang bukan sekedar suka, mereka bisa.
Go, go, go, Sel!” suara yang menggema di ruangan ini seakan menunjukkan kekosongannya, Axel memainkan melodi renyah dengan sebuah bass akustik, diiringi oleh sorak-sorai rekan-rekan, sesekali mereka menggodanya, “Huuu... Acsel! Imut loch, muach!” dengan memonyongkan bibirnya. Bukan satu, tapi selusin orang di sana.
Aku menikmati proses seleberasi yang semakin nyaman, dan all-in-togetherness. Suara orang bercakap-cakap, saling melempar tawa, melempar olokan, suara alunan musik menggema, sesekali terdengar tepuk tangan lemah, nadanya pun berbeda-beda, ada yang begitu melengking, ada yang begitu berat, selebihnya tak teridentifikasi lagi. Semua dalam satu ruangan dan dimensi yang sama. Rumahku.
Rumah berdimensi 20x15 m2 mampu menampung sekitar 106 orang, mereka my graduate mates yang akhirnya berani berangkat bersama, dan pulang bersama. Bukankah kebersamaan itu yang dicari?
Ruangan multimedia menjadi sorotan utamaku, selain lahannya cukup luas dan energik, ruang ini dapat menjadi tempat pelepas penat. Warna putih sejuk beraksen pencahayaan lembut dapat menimbulkan suasana nyaman beraktivitas. Warna putih itu terpadu dengan warna cokelat kayu dari berbagai bidang lantai dan perabot sehingga menghasilkan kesan fresh selama masih ada dalam ruangan.
 Beruntung kedua orang tua sedang dinas ke luar negeri dan mereka pun mengizinkan adanya selebrasi ini, akhirnya kami berkomitmen untuk wear our wings to catch our dream.
 “sekarang apa lagi?” teriak manusia bermata empat yang kami sebut butong.
“Boleh deh, sekarang Stupid Cupid dari Connie Francis!” Pintaku kepada manusia-manusia Band gadungan. “Bisa diprioritaskan,” ujung jempolnya diangkat, dengan semangat yang menggebu-gebu, alunan Smoothy Jazz sangat jernih melewati telinga menuju otak, namun alunan itu ternyata tidak puas menguasai seluruh isi kepala, akhirnya beranjak menuju hati. This my number one!
Mulai menjalar ke seluruh ruangan, semua terkendali oleh alunan musik lembut, hingga sela-sela dinding yang tak pernah tertembus, mereka masih menikmati prosesnya. Aku mencari angin untuk melihat apakah ia juga menikmatinya.
Berjalan menuju balkon berjarak satu ambang pintu, karena sudah dibuka selebar mungkin. Sayup-sayup, suara bising dari lagu sebatas na-na-na mulai memudar seiring bercampur dengan hawa dari luar. Balkon yang didisain sesederhana mungkin, sengaja kami hias seperti rooftop bar yang biasanya hanya ada di hotel-hotel berbintang lima, dengan pencahayaan yang begitu unik dari bohlam-bohlam mini warna kuning bersandar pada dinding atas dekat pintu dan jendela membuat kesan glow, sebuah pancaran cahaya berwarna putih yang menyorot seperti spot lighting, ditambah sorotan lampu berwarna emas 250 volt menghadap langit. Kami namakan zd’s outnight bar. Jadilah balkon sederhana, spesial, setidaknya untuk malam ini. Tungkai ini masih bergerak seper sekian jengkal, maksud menikmati musik yang semakin aneh didengar, jelas si mata empat itu tidak hafal liriknya, jadilah Stupid Cupid asli. Ujung bibirku terangkat naturally.
106. Kukira mereka semua di dalam, ternyata satu dari mereka mengambil kesempatan menjadi primadona acara, karena melanggar aturan jadwal yang ditetapkan. Aku ikut ambil andil sekalian.
“Ngapain melamun gak jelas di sini?” Tunggu, rasanya ini. Perasaanku terputus. Gadis berwajah jernih, seakan aku melihat gemerlap-gemerlap emas di semburat wajah yang kemerahan, setengah cahaya beremulsi di wajah diamond itu. Atau aku yang bego?
“Seru ya, Bal, makasih loh, udah mau minjemin rumahnya.” Aku mengangguk. Ternyata aku enggak bego. “Yah, lagian untuk having fun. Apa yang enggak coba?” ia melempar senyumnya, namun lolos dari pandangan, menukik tajam ke dalam. Ia meninggalkan outnight bar. Kenapa dia?
Pukul sembilan malam yang dramatis, penuh warna eksotis, dan realistis, rangkapan itu menyatu dengan kami, si 106, demikian kami resmi menjadi manusia terdahsyat selagi para penghuni rumah yang lain malah terkantuk-kantuk. Terbesit segaris peristiwa yang berdurasi 30 detik, waktu paling singkat untuk dikenang, tapi dalam dan pekat, aku tak tahu harus menggambarkannya seperti apa. Aku kembali ke dalam kerumunan.
Tak sadar, ternyata alunan yang menanar tadi adalah Never milik Maudy Ayunda, lantas saja agak sedikit feminin, kukira si mata empat itu.
Guys, Gue punya cerita nih,” aku melirih dan ikut ke dalam lingkaran cowok ekstrem yang hobinya menyatire, “sebentar, lo tahu kan, bagaimana perasaan manusia kejar tayang ketika meminta bantuan malah berakhir kebingungan?” Semua orang tahu maksud si Ahmad, mata mereka melirih nakal sana-sini, mencari objek.
“Pas itu, kita lagi nonton film lagak modern produksi luar negeri, tiba-tiba si dia,” berdehem, “sorry, gak gue sebutin namanya. Sorry ya Bek!” Bermaksud menghantam sekaligus, ternganga, sebuah satire tolol yang menggugah suasana, “gue lanjut. Jadi, si dia ini datang, dengan PD-nya, bilang ‘eh, udah nonton spiderman movement belum?’” Dari ceritanya aku tahu maksud di dalamnya. Hal yang unik, sebenarnya Peter Parker butuh berapa Spiderman untuk membuat sebuah gerakan? Apa mereka akan bersorak sambil menepuk dengan urutan dada-dada-tangan berulang-ulang, kemudian berjalan kecil dengan kecepatan 300 sec/m, santai bukan?
Selepas perkumpulan tadi, aku beralih ke panggung mini terbuat dari bambu yang dihias, beraneka ragam sound system sewaan mampu menemani malam konyol ini, karena tak ingin kalah saing, akhirnya kuambil setangkai benda bermelodi, kucocokkan nadanya di C, sebuah nada yang kompleks dan nikmat didengar, hasilnya tidak terlalu pilu, bahkan mengangkat antusias dalam diri bagi siapa yang mendengar. Ku mainkan alunannya, petik demi petik, spontan sekali microphone yang sedari tadi berada di tangan si butong itu, direbut lembut oleh gadis yang meninggalkan kehangatan selama 30 detik itu. Aku mencoba menyesuaikan.
“Bal, kita cover lagu ‘Dekat di Hati’ ya,” Sejumlah senyum terpantul. Tanpa kata, hanya sebuah ibu jari, pertanda siap. Terbilang rumit, usaha pen-cover-an lagu menjadi smooth and relax di luar dugaan, ini mudah sekali.
“Dering teleponku membuat ku tersenyum di pagi hari...” Gadis itu bernyanyi rindang, aku terpejam. “Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi...” Usahaku mengaitkan liriknya dengan perasaan sungguhlah kompleks, demikian aku menyatu dengan alunan serta liriknya, juga, dengan penyanyinya. These are Unforgetable experiences, my graduate mates, my heartbeat mates, and my lovely princess. Bukankah sederhana pergolakannya?

Written by. Muhammad Iqbaludin

Original Writing Idea | ©Marxent Short Story 2015

Share:

0 comments