DIBAWAH GARIS OPTIMIS
DI BAWAH GARIS OPTIMIS
Dikarang oleh. Muhammad Iqbaludin
Berada di pinggiran api unggun memang sangat
menyenangkan, ditambah jika bersama-sama dengan teman-teman. Sekolahku
mengadakan latihan dasar kepemimpinan yang dilandasi oleh sistem kepramukaan.
Tawa renyah yang selalu bergeming di telinga, sepantasnya aku sedikit berpikir
tentang apa yang harus aku dapat dari latihan yang diselenggarakan selama tiga
hari ini.
Dalam mengikuti semua aturan yang sedikit menyusahkan
walaupun beberapa temanku berkata bahwa aturan tersebut tak ada bandingannya
dari pada aturan yang diberikan oleh orang tuanya. Aku mengiakan.
Malam pertama dan sebagai pembukaan dari latihan dasar
kepemimpinan ini, aku harus menjadi apa yang telah lama kuimpikan untuk menjadi
Good Leader, “apa kau yakin tak ingin bersenang-senang, Ghan?” Celotehan itu sampai
kepadaku, namun karena kurasa tak memiliki keuntungan dalam menjawab pertanyaan
itu, lantas kudiamkan. Selama ini yang kupikirkan adalah mengapa masyarakat
yang berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak pernah
menyadari akan susah payahnya para pahlawan terdahulu yang berhasil menciptakan
sejarah bagi negeri ini. Justru mereka lebih menikmati hasil tanpa ingin
berusaha. Aku kecewa.
“Ayolah kawan, kita anak kelas dua SMA, setidaknya kita
mengikuti prosedur latihan yang ada. Sebaiknya tinggalkan dahulu egoisme
kalian, sebelum hal itu malah berbalik menggerogoti kalian!” Tak kusangka
mereka benar-benar tidak ingin mengubahnya, tak ada yang menanggapi seruanku.
Aku melirik ke segala penjuru arah mata angin, mereka berkumpul hanya
melaksanakan keinginannya, nyatanya mereka tak ada sedikit pun ingin menggapai
merdeka itu. Namun persepsi awalku ternyata salah, tidak semua yang tidak
mendengarkan, karena ada satu orang yang betul-betul ingin mendengar kalimat
apa yang akan kulantunkan selanjutnya walaupun tak satu pun kata yang ingin
kulontar. Aku bisa melihat dari air wajahnya. Entah, dari segi mananya aku tak
tahu, tetapi orang itu terus menatapku. Pikiran bercampur aduk, sebab malam ini
sangat gelap, penerangan hanya dalam bentuk api unggun, antara terlihat dan
tidak, aku tidak tahu pasti orang itu, namun ku yakin bahwa dia tetap seorang
manusia. Aku tidak melanjutkan seruanku.
Bapak pembimbing mengarahkan kami semua untuk upacara api
unggun, tanda kegiatan ini dimulai, “Hen, kamu tahu apa yang harus dilakukan
secara akal sehat?” Aku mencoba bertanya kepada sahabatku, Henri. “Entahlah,
tapi aku selalu menuruti apa katamu.”
Upacara berjalan dengan lancar, cemeti semangat semakin
menghantam keinginanku untuk menjadi pemimpin. Malam ini tak banyak kegiatan
yang harus dilakukan sebab kami akan lebih menyisihkan waktu untuk esok hari,
begitu pula diriku, sebagai pemimpin kita harus menempati sesuatu sesuai dengan
waktunya. Aku tertidur.
Tak lama rasanya seluruh dunia terasa gelap gulita dan
aku terkulai lemas dan rileks, terkejut ketika aku bermimpi kepalaku tertikam
harimau, ternyata seekor tikus kecil menggigit ujung hidungku, aku terbangun
kesal olehnya. Sesaat mengejar tikus tadi dan keluar dari tenda, aku tak
sengaja melihat seseorang berada di remang-remang api unggun. Dia sedang
berusaha untuk menyalakannya lagi, karena ku tak tega melihat seorang gadis yang
sedang berusaha menyalakan api unggun untuk menghangatkan suasana, kuurungkan
pengejaran si tikus menyebalkan itu.
“Boleh ku bantu?” Tanyaku halus dan ia menatap wajahku,
sekilas aku tahu bahwa gadis ini sama dengan gadis yang menatapku saat ku
berseru, ia adalah Nisa. Aku memang tak kenal dekat dengannya, aku tahu
namanya, “Boleh, kalau begitu, aku yang menyusun ranting-ranting ini, kau cari
lebih banyak ranting kering, dengan begitu api akan mudah menyala.” Ucapnya
dengan penuh heroik, seolah-olah kami terdampar di suatu pulau tanpa adanya
penghuni lokal. Aku sanggupi karena tak begitu berat menurutku.
Beberapa ranting kudapat selama hari masih menunjukkan
jam tiga dini hari, selama itu pula akhirnya api menyala, kami terdiam sambil
memanjakan tubuh dengan hangatnya api unggun, “eh, kalau boleh tahu, kenapa
kamu begitu ambisius untuk menghidupkan unggun ini dan mengapa tidak tidur
saja?” Ku tanya demikian sebab ku heran sekali dengan tindakan Nisa, “Aku
terbangun karena merasa dingin, dan tak mungkin aku membiarkan dingin
membangunkanku untuk kedua kalinya. Kau mengerti bukan?” Aku kagum dengan cara berpikirnya.
Aku mengangguk paham.
Malam itu bukan hanya hal yang biasa, obrolan kami
benar-benar setara, kami banyak membicarakan perkiraan masa depan Indonesia,
bahkan di sini, aku lebih banyak menjadi seorang pendengar dibanding pembicara.
Namun ada sesuatu yang menarik jika ia sedang berbicara, itu yang sering kali
aku perhatikan. Ia sangat manis.
Api unggun masih menemani malamku dan malamnya, bintang
masih berpendar di langit gelap, dan bulan tak kalah terang dengan
bintang-bintang di angkasa, namun kelihatannya Nisa sudah terlihat lelah, “Nis,
sudahkan saja, sebaiknya kau tidur.” Kata terakhir kuucapkan dengan sebilah
senyuman, sangat menarik sekali. Ia memberikan senyum perpisahan. Ia akan tidur
di tendanya. Aku kembali.
Suara lonceng bambu terdengar, beruntung aku masih peka
pendengarannya walaupun semalam sempat tak tidur. Pertama yang kuingat saat bicara
dengan Nisa di sekitar api unggun, aku tersenyum mengingatnya. Pagi ini agenda
kegiatan kemah dimulai, aku dipilih menjadi pemimpin regu, inilah kesempatanku untuk
mempraktekkan apa-apa yang ku ketahui dalam masalah kepemimpinan. Secarik
kertas yang berisi daftar anggota, ternyata aku hanya membawahi lima orang
anggota, dengan ini, jumlah satu kelompok menjadi enam orang. Melihat daftar
anggota, aku terkejut sekaligus bahagia, ternyata gadis semalam itu tercantum
di sini. Entah apa yang mengitari pemikiranku, tapi hal semalam akan terus
terekam dalam otak, ada beberapa hal yang menarik di dirinya dan itu mungkin
tak semua orang menyadarinya, ia sangat dewasa dalam pemikiran walaupun
terlihat seperti kekanak-kanakan dalam penampilan dan kelakuan. Satu kelompok
yang terdiri dari Hermansyah, Dwi, Nisa, Joni, Rahman, dan diriku sendiri,
berkumpul di gerbang utama untuk mendengarkan instruksi latihan.
“Ada beberapa yang harus bapak sampaikan, terkait dengan
latihan dasar kepemimpinan ini. Untuk setiap regu diwajibkan bersama-sama
menyelesaikan beberapa pelatihan, barang siapa yang terlihat tidak bersama
dengan satu kelompoknya maka dianggap kelompok tersebut gagal. Bisa dipahami?”
Instruksi itu membuatku kekeh agar lebih memahami keinginan kelompok. Kemudian
bapak instruktur memberi kami beberapa arsip yang berisi soal-soal dan masalah
yang harus diselesaikan. Ini pelatihan awal, Problem Solving.
Dari pelatihan ini
aku mendapatkan berbagai pemikiran kreatif dari anggota regu dan aku sangat
berapresiasi dengan mereka. Permasalahannya adalah: Apa yang kamu akan
prioritaskan, teman atau tugas, demi pencapaian keberhasilan?
“Pertanyaan yang jelas-jelas mengundang tawa, ya, aku
pasti memilih tugas jikalau itu demi pencapaian keberhasilan.” Jawab Rahman.
Aku belum berkomentar, tidak seperti rekanku yang satu itu karena dalam
mengambil sebuah tindakan, butuh perhitungan yang matang agar langkahnya tidak
salah. Namun sampai saat ini, yang menjadi jawabanku adalah tugas. Jelas, di
sana tercantum poin pencapaian keberhasilan, jadi kita harus memprioritaskan
tugas kita terlebih dahulu kemudian urusan pribadi, sebab, di mana jalan
keberhasilan itu tercapai akibat pengorbanan, entah itu waktu, uang, atau teman
sekalipun, setelah semuanya selesai maka kita tidak diperbolehkan memutus
ikatan persaudaraan dan ikatan sosial dengan masyarakat. Itu pendapat dari ku.
Dengan bijak aku menanyakan pendapat ku
dapat diterima atau tidak kepada rekan kelompokku. Walhasil, mereka
menyetujuinya. Karena sistem pelatihan ini dengan cara adventure, kami menjadi peserta pertama yang berangkat. Semuanya
sudah lengkap, tanganku penuh dengan peta perjalanan dan informasi tanda perjalanan.
Hutan ini meledakkan energi dan jiwa mudaku, perjalanan
pertama adalah sungai, yang entah ku tak tahu namanya. Sesuai dengan petunjuk
di sana kami akan melakukan sebuah permainan kepemimpinan, seperti apa
bentuknya kami belum mengetahuinya. Dalam perjalanan kami tak hanya diam
membisu, kami saling berbagi ilmu dan informasi, ada yang berbentuk mitos dan
lain sebagainya, bahkan ada yang bercerita tentang kehidupan percintaannya dan
macam-macam, aku menghargai semua cerita mereka karena secara tidak sadar
mereka telah berlatih untuk berkreasi, kecuali Nisa, yang belum mengeluarkan apatah
kata pun, bahkan saat problem solving pun tidak.
Gadis itu, entahlah, bermacam-macam pikiranku, namun
jangan sampai aku terjerumus hanya karena hal sepele, bukan saatnya. Aku mulai
tegar untuk memimpin keenam temanku. Sampailah kami di sungai.
“Kalian kemarilah cepat!” Penguji sudah berteriak lantang
memanggil, kami harus segera bergegas, “Lamban sekali, baiklah, sesuai dengan
arsip petunjuk. Kalian akan di hadapkan dengan sungai yang deras ini, tugasnya
mudah tapi berat untuk dilakukan. Itu jika kalian semua masih mementingkan
keegoisan diri sendiri.” Bapak instruktur berkata dengan nada menakutkan, kami
semakin penasaran akan tugas yang diberinya ditambah tegang, “Tugasnya
adalah...”
Sederhana, namun ini sangat berat untuk dilakukan, kami
harus bisa menyeberang sungai tanpa ada satu pun yang terlukai. Aku mulai
bergegas menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk melewati sungai. Secara
fisik, sungai ini berbentuk huruf ‘U’ dan tidak terlalu dalam, kira-kira seleher
kami, kemudian lebarnya kira-kira lima meter, dan di depan sana terdapat batu
berbentuk seperti tugu, tepat satu meter di depannya. Aku mengerti sekarang.
“Teman-teman, dengarkan aku sekarang, jika kita tidak
kerja tim, maka ada salah satu dari kita akan hanyut. Kita datang dalam kondisi
sehat dan kita datang dengan jumlah enam orang, maka kita keluar harus enam dalam
kondisi sehat pula.
Dengarkan instruksiku, Hermansyah, aku membawa tali
tambang kecil sepanjang l5 meter. Kau ikat seperti tali koboi dan mulai
lemparkan ke tugu itu, kemudian Joni, kau ikat ujung tali yang berlawanan ke
pohon sebelah sana, aku yakin pasti sampai.
Dengar, posisinya jangan berubah, aku memasang Hermansyah
yang berbadan besar di depan, disusul oleh Rahman, Dwi, Nisa, dan terakhir aku.
Sekarang laksanakan.” Mereka mengangguk paham, kami akan melaksanakannya.
Beberapa menit berlalu, persiapan selesai dan tali sudah
kuat untuk menopang, kami sedikit demi sedikit turun. Benar-benar sulit diduga,
alirannya sangat deras sehingga barisan kami harus sangat rapat, semoga posisi
ini sangat kuat untuk melawan arus. Sangat menantang.
“Baiklah, kerja kalian sangat baik, pergilah ke pos
berikutnya!” Bapak instruktur sudah meneriaki kami, walaupun suaranya harus
bertabrakan dengan suara deru arus sungai. Kami berhasil menaklukkan keegoisan
serta arus yang deras itu. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan baju yang
basah, sedikit menjengkelkan.
“Kau tahu, mengapa para instruktur tidak menaruh
permainan tadi di akhir, sehingga kita harus berjalan dengan basah kuyup
seperti ini.” Ocehan Dwi memang tidak kalah dari Rahman, tapi tak mengapalah,
toh, mau tidak mau mereka harus terus lanjut ke pos berikutnya. Aku membawa
jaket, jadi kuberikan kepada anggota yang memang tidak kuat dalam keadaan
dingin. Sesaat kuingat, seseorang yang pernah bangun tengah malam dan
menyalakan unggun untuk membuat dirinya hangat, ia tidak tahan dingin, segera
kecemasanku muncul dan melirik kepada Nisa. Ternyata benar, bibirnya pucat
kedinginan.
“Apa kamu masih kuat, Nisa?” Melihatnya menggigil, namun
tetap saja ia memaksakan untuk tersenyum walau itu tidak harus ia lakukan.
“Kemudian apa yang akan kita lakukan, sedangkan Nisa,”
semua terdiam, “teman-teman, lanjutkan saja perjalanan, aku hanya menggigil
kedinginan, dengan baju hangat sepertinya cukup,” Aku melupakannya dan kini
kuingat, aku membawa baju salin, akan kuberikan ke Nisa.
Semuanya beres, walaupun kami di sini menjadi kelompok
ketiga karena dua kelompok sebelumnya telah menyusul. Nisa juga sudah kembali
dari salinannya dan melanjutkan perjalanan. Saat ini, hanya Nisa seorang yang
berjalan dengan baju kering, tapi tak apa, fisiknya berbeda dengan kami. Dan
ada satu hal yang kulihat, Nisa terlihat begitu lucu jika berpakaian seperti
itu. Pakaian yang dikenakan lebih besar dari tubuh mungilnya.
Terkadang apa yang kita lihat tidak selalu sama dengan
apa yang kita harapkan, di hutan ini, banyak yang kulihat dan banyak yang tak
sesuai dengan harapanku. Sebaiknya kita jalani sebagai senjata terkuat dan
pengalaman sebagai petunjuk yang akurat, dengan beranggotakan enam personil, akhirnya
kami berhasil melewati satu, dua, bahkan beberapa pos, dan sampailah di perjalanan
menuju pos terakhir.
“Sebentar, tas gendongku tertinggal di pos ketiga, aku
akan mengambilnya,” kata Dwi seenak jidatnya, kemudian dengan tegas aku
berkata, “Tidak, bukan kau, tetapi kami akan ke sana, perjalanan tadi sangat
berbahaya dan itu tak pantas kau lalui sendiri, apalagi kau perempuan.” Banyak
pertentangan di sini, aku melupakan target dan tujuan. Hermansyah, Joni, dan
Rahman memilih untuk terus melanjutkan perjalanan, kita terpencar.
“Proses dari pos ke pos itu bukan untuk itu Ghan, kau
harus tahu itu!” Joni menggertakku, “Bahkan perempuan itu tak sedikit pun malu
kalau dia telah menyusahkan orang banyak!” Rahman menambahnya, “Cukup, aku akan
mengambilnya sendiri, Ghani, jangan halangi aku.” Dengan ini aku nyatakan
mereka masih egois. Aku bingung sendiri.
Kukumpulkan apa yang telah kudapat selama perjalanan, mulai
menutup mata dan berpikir sejenak. Pos pertama, aku menjawab pertanyaan dengan
memprioritaskan tugas sebagai pencapaian, pos kedua, semua bersatu untuk melawan
arus dan berhasil, ketiga, aku memutuskan Dwi sebagai orang yang paling atas di
permainan Piramida Manusia, dan keempat, Hermansyah kutunjuk untuk menjadi
pijakan agar dapat menaiki dataran tinggi. Aku mengepalkan tangan, tidak dapat mengambil
keputusan. Tiba-tiba sebuah tangan mengusap lenganku.
“Kau pasti bisa, bapak presiden!” Nisa tersenyum
kepadaku, akhirnya aku yakin dengan keputusan ini, “Baiklah, semuanya, berhenti
bertengkar. Sekarang, kita sama-sama kembali dan menemani Dwi untuk mengambil tas
gendongnya, lupakan soal tugas. Ini bukan tugas, tetapi ini adalah cobaan bagi
kita, kita harus paham itu. Mari berangkat!” Seperti yang kurencanakan,
Hermansyah tidak memegang peta perjalanan, Joni dan Rahman juga tidak, maka
tidak ada pilihan lain selain mengikutiku.
Beberapa detik, menit, bahkan jam, kami tidak sampai di
sana, padahal kami hafal betul jalannya. Sungai berbatu, “Oh tidak, kita
tersesat,” jawabku dalam hati. Namun ini keputusan berat, arusnya terlalu
kencang, tapi pengalaman saat di sungai sebelumnya memberiku pelajaran, akan
kuulangi.
“Dengar, kita lakukan seperti halnya kita di sungai tadi,
namun yang ini berhati-hatilah.”
Semua persiapan telah kelar, aku menyelipkan tali di
antara himpitan batu kali. Kami mulai dengan posisi yang sama, sedikit demi
sedikit langkah yang kami punya untuk menarik tali tambang kecil.
Harapan tak akan selalu tercapai, kutemukan diriku dalam
kondisi yang tak memungkinkan, ternyata tali penopangnya putus, aku sedikit
terbentur dan pingsan, untungnya aku masih berpegangan pada tali. Aku
mencemaskan yang lain.
“Hermansyah!”
Aku mencoba untuk mendeteksi yang lainnya, mereka sedang
berusaha untuk memegang erat tambang. Joni dan Dwi sedang saling berpegangan,
jika pegangan Joni terlepas maka hanyutlah mereka berdua, Hermansyah memegang
batu pipih sebagai penopang arus, Rahman memegang akar pohon, dan Nisa, aku
tidak melihatnya. Aku menyuruh mereka untuk naik ke atas batu besar, dan mereka
bisa, posisi kami sekarang tidak bersatu, terlalu kencang arus sungai ini. Aku
mencari Nisa dari atas batu.
Ditemukan, ia terhimpit dua buah batu besar dan ia berada
dalam keadaan pingsan. Tanpa kusadari sesuatu, bahwa diriku bergerak sendiri,
aku tidak mengendalikannya. Melompati batu demi batu dan terjun langsung ke
sungai kemudian menahan arus dengan mengaitkan kaki ke dua batu besar tersebut,
aku mengangkat Nisa, agak sulit karena posisi kakiku sedang menghimpit batu.
Beberapa tindakan yang kulakukan memang sebagian besar di
luar kemampuanku, mungkin jika kondisinya tidak seperti ini, aku tak bisa mengulanginya.
Namun aku masih merasa bersalah atas keputusanku sebelumnya.
“Kita tersesat, dan terjadi insiden berbahaya. Kemudian
apa keputusan bahayamu selanjutnya Ghan?” Joni marah kepadaku. Aku berhak
dimarahi seperti itu, jika Nisa sudah sadar, pasti ia akan kecewa. Tidak. Aku
tahu, karena di setiap keputusan memiliki risiko. Jawabannya sekarang, mencari
jalan sebelumnya dan menemukan pos ketiga.
Hari sudah sangat senja, seharusnya semuanya kelar pada
siang hari, aku yakin semua peserta bahkan para instruktur mencemaskan kami. Sambil
menggendong Nisa, kami berangkat. Melalui terjalnya jalan, licinnya tanah, dan apapun
itu membuat diriku terbentuk, semua ini di luar skenario bersama, aku mempelajari
arah mata angin yang ditemukan tanpa kompas, karena barang-barang perjalanan
hanyut di sungai. Setelah beberapa lama, akhirnya aku menemukan pos tiga.
“Kalian ini, dari mana saja!” Gertaknya, “Maaf pak, kami
tersesat dan sempat terhanyut dari sungai. Nisa terbentur dan pingsan, selebihnya
kami terkena luka yang sedikit parah. Itu saja laporannya.”
“Sekarang, kami anggap kalian gagal dalam perjalanan ini,
mengerti.”
Terlihat semua anggotaku kecewa, tapi sebelum mereka
kecewa, aku ingin mengatakan sesuatu yang menurutku ini harus disampaikan, “Kawan,
dengarlah, kita boleh gagal dalam tugas ini, tapi kita tidak gagal pada ujian
ini, karena kita berhasil keluar dari rintangan yang keluar dari skenario itu
dengan selamat walau beberapa dari kita pingsan, juga ada yang terkena luka
cukup parah. Kita harus tetap optimis.”
Hari itu semua berakhir, ini sudah sehari setelah latihan
dasar kepemimpinan, ku lihat para siswa SMA Tanjung Harapan saling berbagi
cerita yang terjadi, aku terus berjalan menuju kantin, menemui Hermansyah,
karena kunci lemarinya tertinggal saat di mobil bus. Sesekali merasakan suasana
sekolahan di kantin, dengan seorang gadis yang hari ini akan kuberikan sesuatu.
“Kau tahu, hal yang paling menyenangkan di hidupku. Bisa
saling berbagi satu sama lain.” Kuakhirkan dengan sebilah senyum.
“Bahkan jika kamu bersedia membantuku untuk menyalakan
unggun kembali pak presiden.” Ia membalas senyumku untuk ke-sekian kalinya.
Tags:
Casual Short Story
0 comments