1# Cluster of Marxent Serial: The Best Corner


THE BEST CORNER

Jakarta, 2015
Kedua pasangan itu saling melempar senyuman, terpancar kehangatan antara kedua belah pihak. Mobil BMW putih yang baru saja berhenti untuk mengantarkan sang putri, kini sudah akan berjalan lagi. Pria itu akan meninggalkan sang putri.
“Kapan kelarnya?” Sesosok tampan dengan senyuman hangat, tak bisa dipungkiri lagi akan kehebatan mahadahsyat pencipta sosok yang berdiri di depan wanita itu, “nanti saja miss call, kayaknya agak lama deh.” Terakhir mereka saling melempar senyum saat akan menuju tempat yang dijanjikan, sekarang mereka membuat catatan itu kembali. Sampai mobil BMW putih keluaran terbaru itu melesat, namun ekor mata si wanita itu tetap pada titik sempurna mengikuti arah laju mesin beroda empat hingga berbaur dengan yang lainnya.
Wajah yang menggambarkan kegembiraan, lantaran ia akan tersenyum dan menangis terharu, jelasnya ia lebih memilih untuk pasang muka biasa-saja-biar-gak-norak, tak khayal jika ia begitu antusias menghadiri pertemuan yang menjadikannya manusia beruntung hari ini, hingga tak ada seorang pun dapat menghalangi ambisi yang tertanam kuat di hatinya. Sesederhana mungkin Audy melangkah masuk ke dalam ruang klasik beraroma kopi kental yang menghadirkan banyak kesan nikmat bagi sekelompok orang-orang insomnia –yang mengudeta kehidupan siangnya menjadi waktu tidur bersahaja, tercium sebuah aroma dari berbagai macam brand terkenal dan berbagai jenis kopi ikut andil menguasai ruangan, interior bertajuk natural dengan pilar-pilar kayu dan lighting  yang memesona, sebuah kaca bercucuran air di permukaannya membuat kesan seolah-olah sebuah air terjun mini modern, kalau yang satu itu hanya mendapatkan best corner, tidak hanya itu, dalam sekali jalan pengujung langsung disambut oleh penampakan mesin pembuat kopi unik, seorang pelayan yang begitu ramah, dan bapak-bapak berkumis sebagai kriteria umum pengunjung setia,  setidaknya ia dapat menikmati bonus kariernya di samping seorang penulis novel.
Rangkaian cerita yang mereka sebut novel itu adalah hal yang memungkinkan Audy menjadi seorang sosok perfeksionis, bakatnya yang dimulai dari kisah-kisah pengantar tidur, kisah heroik seorang putri yang menolong pangeran –wajar saja karena tokoh yang ia inginkan adalah cerminan dari dirinya sendiri. Audy semakin menikmati prosesnya.
Setelah lama sibuk di sebuah perusahaan internasional yang bergerak dalam bidang konsultan dan jasa arsitektur. Dengan prinsipnya: apa yang dirasa, maka itulah yang di dapat. Ia mendapatkannya. Karya yang mengisahkan seorang eksekutif muda berbakat yang harus menghadapi lema antara cinta dan karier, membuat seorang produser dari lembaga independen Vicinemart sebagai the best film production house tergiur dengan alur cerita novel kelahiran wanita asal Bandung itu.
Vicinemart, sebuah lembaga perfilman yang masuk ke dalam radius ‘rumah produksi bergengsi’ di Indonesia. Telah banyak melahirkan film yang menghasilkan rating sangat bagus, usaha yang diberikan sangatlah responsif seakan tak ingin menghilangkan detail-detail sekecil remeh. Itulah beberapa alasan Audy dapat memercayakan novelnya untuk diadopsi ke layar lebar.
Secara finansial, novel karya Audy adalah salah satu dari beberapa novel Mega Best Seller, jadi wajar saja berani mengadopsi sebuah film dari benda setebal kamus tersebut. Bagaimanapun juga, tonggak kreativitas yang selama ini orang-orang harus mengorbankan banyak hal berharga, ia mendapatkannya dalam sebuah cerita dan kontrak.
Berdiri melihat keramahan barista menghadapi pengujung, matanya mencari-cari. Corner terbaiklah yang menjadi tempat pertemuan mereka. Seorang pria separuh baya yang ia sebut pak produser menghampirinya, dengan mantap menjabat tangan si wanita bermata empat itu. Audy menerimanya dengan hangat.
“Baik, bisa kita mulai?”
“Tunggu, si Erna mana?” sela seseorang sambil menaruh topi cowboy cokelatnya.
“Lagi ambil kopi dia,” si produser kembali menyahut, “kamu ngopi Dy?”
“Boleh deh.”
Pertemuan mereka bisa dibilang terlalu cepat, seharusnya mereka mulai dari pukul delapan malam, tetapi terlalu lama bagi mereka hingga memutuskan datang pada pukul setengah tujuh dengan dalih satu setengah jam untuk having fun. Di dalamnya mereka sekedar bercakap-cakap ringan, ada saja yang memulai sesi saling hina, “lebih baik kita mengawali waktu, dari pada kecopetan!” demikian alasan sang produser si empunya event.
Suasana santai, tidak hening tidak juga riuh, sesama kru saling melempar komedi pas-pasan, pas mengerti saja baru tahu kalau itu komedi. Audy mengambil jatah comedy malam itu, walaupun ia tak sehebat komedi Angga si cameraman. Komedi proporsional bagi mereka sebuah jembatan penghubung satu sama lain, sehingga memudahkan mereka yang jarang berinteraksi menjadi super cerewet. Sampai Erna kembali dalam lingkaran mereka, pertemuan segera dilangsungkan.
“Nah, mba’ Audy ini penulis muda yang baru pertama kali menerbitkan novelnya, di sisi lain, karyanya yang sangat tidak muda, dalam arti tak semua penulis muda dapat berkarya, jadi mba’ Audy ini salah satu orang yang beruntung,” kalimat pembuka yang manis dengan porsi suara yang sedikit medok mengundang tepuk tangan kru-kru lain.
“Saya boleh bertanya sesuatu?” Tanya Angga canggung.
“Hoalah, kamu Angga, jangan tanya ‘kamu sudah punya pacar belum’ nanti disikat suaminya mau!”
Seakan harapan Angga ludes sebelum menjulang setelah mendengar pak produser spontan menembak maksud pertanyaannya, komedi satire itu kembali memadam.
“Terima kasih atas pujiannya.” Sambung Audy, “sebenarnya apa-apa yang saya tutur dalam novel ini tidak lebih dari sebuah kumpulan kata, maksud saya,” mendehem malu, sementara beberapa orang yang tengah terfokus menjadi tertawa renyah atas tingkahnya, “ya, m-maksud saya enggak terlalu hebat, begitu.”
“Tapi karakternya hidup loh mba’”
“Saya hanya menulis apa yang ada di kepala, selebihnya saya rasakan sendiri.”
Ajang perkenalan yang terlambat, namun waktu mereka mendekati sepuluh menit menuju timing yang disepakati. Audy yang biasa berbicara melalui huruf-huruf kemudian dikembangkannya sesuai ekspresi dan emosinya. Menulis juga pekerjaan yang sistematis, kebanyakan seorang penulis awam khawatir dengan tulisannya, memulai dengan selera bukan dengan hati, sehingga tak banyak yang berhasil melewati tahap maksimal dan kesannya bertele-tele. Berbeda dengan seorang Alexander Dumas, yang menjadikan sarana menulis sebagai kebutuhan hatinya, ia mampu melahirkan sebuah novel setebal kamus dalam waktu tiga hari, dengan begitu terhitung berapa banyak novel yang dikeluarkan dalam waktu sebulan? Audy selalu termotivasi oleh hal itu, ia sampai berani bertaruh untuk dirinya sendiri.
Baginya manifestasi karya yang obvious adalah sebuah istana megah beralaskan awan, negeri yang selalu diimpikannya terasa sangat mudah diciptakan, sebuah pena cukup menampung kemegahan tersebut. Di lain sisi, obsesinya tentang negeri antah-berantah dan istana-istana megah sebenarnya kenikmatan melihat sisi lain dari sebuah perwujudan seni 4D, ia senang melihat sebuah miniatur-miniatur gedung dari skala klasik hingga modern, dan alasan itu juga yang menjadikannya terdampar di sebuah perusahaan konsultan dan jasa arsitektur. Ia beranggapan model bangunan dengan model sebuah cerita sebenarnya sama, mereka harus menempatkan detil-detil khusus barulah dapat dikatakan bahwa itu berbeda, maka jadilah sebuah model. Walaupun tidak begitu mahir di bidang teknik arsitektur, sebagai pemesona, ia tahu di mana sebuah titik atraktif yang menjadikan sebuah gedung menjadi eye catching, begitu pun tulisannya, hal yang terlalu krusial baginya adalah di mana saat-saat yang produktif hilang begitu saja karena berbaurnya permasalahan di pikiran, selagi posisinya berada di atas, sebenarnya hatinya tidak menyesuaikan keberadaan tersebut. Ia meminta resign.
Wanita bermata empat yang sedari tadi menjadi objek pertanyaan orang-orang yang haus akan gosip dan informasi terus berbincang pengalamannya di bidang penulisan. Kru Vicinemart yang sangat bersahabat, setidaknya seperti itu kesannya. You’re the attractive ones guys, thank you!
“Berarti ada beberapa pengalaman mba’ Audy di sini?”
“Benar. Beberapa kasus saya kolaborasikan dengan pengalaman pribadi, bahkan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan plot cerita.”
“Enggak merasa risih kalau ini dipublikasikan?”
“Seharusnya ada, lagi pula saya sudah bertaruh untuk saya pribadi, novel ini menjadi karya pertama dari sebuah manifestasi sederhana kehidupan saya pribadi, dan orang di sekeliling saya. Kalaupun merasa risih dengan apa yang saya tuangkan sendiri, berarti saya tidak usah tuangkan itu.”
Musik jazz mulai mengalun di kedai klasik yang beroperasi selama dua puluh empat jam tepatnya di jalan Fatmawati Jakarta Selatan, dengan ranting terbaik sebagai kedai kopi. Lampu yang berpendar keemasan membuat suasana ruangan malam hari tampak sangat klasik dan memukau. Audy, Angga, Pak Renaldhi, Novy, dan kru lainnya sebagai tim developer asyik menikmati hangatnya malam di GetBlack Coffee Shop. Sesekali matanya mengikuti beragam jenis manusia bar, ia terhenti untuk bersyukur dengan hasil kerja keras selama ini. Setidaknya itu yang ia rasakan.
“Bagaimana mba’ Audy, sudah sampai pada timing yang dijanjikan.”

“Baik.” Dengan dada yang sudah ingin memuntahkan keraguan dalam dirinya, kini ia berupaya menerangkan plot cerita seterang mungkin, “Kita mulai dari sang pemeran utama.”

Written by. Muhammad Iqbaludin

Original Writing Idea | ©Marxent Serial Story

Next Chapter
2# Cluster of Marxent Serial: Ini Sekedar Kebetulan

Share:

0 comments