KEPULAN MELODI USANG

KEPULAN MELODI USANG
Dikarang oleh. Muhammad Iqbaludin

Suara seketika senyap, semua orang di sini menunggu kedatangan sang perfect pitch muda. Semua mata tertuju kepada pintu yang tersorot lampu panggung, seakan menunggu keajaiban datang setelah itu. Namun tak sekali-kali tampak, si perfect pitch tak kunjung tiba.
“Kau terlihat datar sekali, Fred. Saat si perfect pitch itu tiba, aku bisa jamin bahwa kamu akan terkejut tak karuan.” Ucapan Maya mengandung banyak unsur dan tanda tanya, adakah yang terkejut selain diriku ataukah ada hal yang spesial untuk ku? Semua itu hanya terjawab setelah si perfect pitch itu keluar dan memamerkan jari untuk menghasilkan nada yang biasa sekaligus membosankan.
Auditorium ini dipenuhi oleh orang-orang yang mencintai nada piano atau hanya nada instrumen, kecuali diriku. Maya mengajakku demi sesuatu, namun sesungguhnya diriku menolak, jika saja dahulu aku tidak memiliki tanggungan yang harus terbayar, mungkin aku sudah berada di atas ranjang dan tidur puas.
Di dalam sini, aku merasakan kehidupanku yang berbalik seratus delapan puluh derajat, aku yakin ini bukan diriku. Dahulu, aku sangat menyukai musik, terlebih musik instrumental. Tahun dua ribu enam lalu, aku berumur enam belas tahun, di sana aku menyukai dua hal: musik dan cinta. Ada beberapa faktor yang membuatku jatuh ke dalamnya yaitu seorang gadis, piano, dan hobi.
Aku ingat perkataan Maya dahulu, Jika kau menyukai seseorang, maka kamu harus mengikuti dunianya dan bergabung dengannya, bukan memaksanya untuk masuk ke duniamu. Aku percaya. Oleh karena kupercaya, konsentrasiku meningkat drastis demi kelihaian memainkan piano. Bulan demi bulan, sepanjang pelatihan, akhirnya sampai di titik jenuh, aku dapat memainkan nada per nada. Semakin nikmat dengan alunannya, kucoba untuk memejamkan mata, di situ aku membayangkan gadis tersebut datang kepada ku, dan lagi, ia semakin dekat, sampai akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Hanya sebutir bayangan, mataku terbuka lebar akan kenyataan yang sebenarnya tidak semudah perkiraan. Tatapan gadis itu dingin, aku ragu dengan keputusanku untuk memilihnya, tetapi orang itu membuatku penasaran. Itu yang kusukai.
“Jangan kecewa Fred, gadis itu belum mengetahuinya, teruskan!” Bisikan hati yang datang seketika, wajah kecewa ini tergantikan, kesadaranku akan membawa mimpi menjadi sebilah pisau cinta untuk menikamnya dari dalam.
Periode latihan selanjutnya, Grammy Music, tempat latihanku akan mengadakan sebuah acara lokal. Aku sedikit murung karena harus membersihkan semuanya dan tidak ada latihan. Sesuai dengan perasaanku, kotak per kotak alat musik kuangkut dengan malas, wajahku mudah sekali ditebak, mood-ku tidak stabil, aku tak sengaja menjatuhkan Morphis terompet hingga memecahkan konsentrasi semua orang yang ada di ruangan. Mereka menatapku sinis.
“Jika kau tidak ingin, ya sudah, duduklah di sana sambil melihat kami bekerja!” Dingin sekali gadis itu, tak kuduga ia sedikit menjengkelkan, namun inilah kesempatanku untuk menantangnya, “Baiklah, ini kotakku, bawakan ini ke sana, karena aku akan duduk dan memerhatikanmu dari sana. Melihatmu letih.” Ku jawab olokan ringan itu dengan sedikit lancang sekaligus menantangnya, seberapa kuat ia akan bertahan membawa kotak-kotak berat itu.
Satu, dua, lima dan tujuh kotak musik terangkut, wajahnya mulai memerah dan keringatnya bercucuran. Aku prihatin. Kotak kedelapan sedang diangkut, aku segera berlari menuju gadis itu karena kotak itu akan terjatuh dari tangannya.
“Sudahlah jangan memaksakan diri Sya, beristirahatlah, kini giliranku.” Ia tetap dalam keadaan yang paling tak ku suka: terdiam. Heran, gadis ini memang keras kepala sekali, ia terus membawanya, namun kali ini ia dibantu oleh diriku agar pekerjaan terasa ringan. Oleh karena pekerjaan ini dikerjakan bersama, satu hal yang paling indah, menatap wajah dinginnya dari jarak pandang yang dekat. Ia masih bersikukuh mempertahankan wajah dinginnya ketimbang harus tersenyum walau sedikit.
Satu, dua, lima, sepuluh dan lima belas kotak alat musik terselesaikan dengan singkat, aku resmi menjadi seorang pekerja. Setelah itu kami pergi ke dua arah yang berlawanan, ia ke pintu utara dan aku pintu selatan. Kami berpisah ruang.
Sehari penuh tanpa dirinya, Grammy Hall digunakan untuk kontes lokal, beberapa peserta adalah senior, ada juga yang yunior, termasuk diriku. Raisya, si gadis dingin itu pun ternyata mengikuti kontes ini, aku penasaran dengan kelihaiannya dalam memainkan piano sebab tak ada bukti yang langsung kudengar. Ia selalu bersembunyi setiap akan latihan.
Sesekali mengunjukkan diri tak apa, tetapi apa yang diunjukkannya itu harus ada dan benar-benar dimiliki. Aku semakin lihai dalam memainkan piano ini, demi mendapat perhatiannya. Entah, apakah ia melihat atau tidak, namun yang kuharap ia dapat mendengarnya.
“Selamat ya Fred, dia pasti menikmati instrumen mu.” Maya memberikanku provokasi yang berarti untuk sesuatu yang berarti pula. Tak lama, suara instrumen selanjutnya terdengar. Sangat indah sekali. Alunan nada itu seakan-akan hidup dan mengitari tubuhku, seakan-akan berkata ‘Inilah waktunya!’, aku dapat merasakannya, sebuah alunan yang menyatakan bahwa cinta tak didapat dengan angan-angan, namun didapat dari realita. Itu memberikan motivasi tinggi untuk yakin mendapatkan gadis yang kusukai.
Bagaikan ikan yang berlari di daratan, tragedi di sini sangat mengejutkan. Raisya sangat lihai memainkannya, bahkan lebih hebat dari ku. Gadis mungil yang berumur lima belas tahun itu melihatku untuk yang pertama kalinya, namun aku masih ragu, apakah hanya tatapan biasa atau memiliki arti tersirat. Aku balas memandangnya. Dia tersenyum.
Melodi yang terbentuk mengiringi sore hari yang indah. Mataku tak usai melihat pertunjukkan hebat. Mataku masih saling adu pandang. Sesekali alunan musik mengiringi, sesekali senyuman terlempar kepada ku, keraguanku seketika hilang. Nada Do tinggi menandakan akhir instrumen tersebut, ia masih memberikan senyumnya, untuk yang terakhir.
“Bagaimana kamu bisa sehebat itu?” Tanyaku polos, sekilas pertanyaan ini cukup terlihat bodoh, namun inilah awal yang kudapat untuk meraih hatinya. Inilah pertama kali aku memulai pembicaraan dengannya.
“Untuk apa pertanyaan itu? Kau sendiri jelas sudah mengetahui jawabannya kan?” Jawabnya datar. Ia selalu menjadi orang yang pertama kali memulai konflik, namun yang ku heran adalah senyum waktu itu. Aku terpaksa mengubur semuanya, aku katakan semua itu adalah bayangan semata, bahkan sesekali akan hilang jika tak ada wujud yang membuatnya.
Hmm, tidak ada, hanya segelintir pertanyaan yang boleh kau jawab, jika tidak berkenan, tidak masalah.” Aku membuat alasan yang tidak terlalu menjatuhkan harga diriku, aku pikir ia akan senang jika harga diriku diinjak-injak, “Baiklah, aku tidak berkenan,” Perkataan itu mengejutkanku, lancang sekali gadis itu, “Tidak masalah.”
Umpan balik, ia memang pintar memutar balikkan keadaan. Beberapa jam kami berpisah dan hal itu membekas di benakku sehingga ada keinginan kembali melihatnya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dirinya? Mengapa aku begitu bersikeras mengingatnya, bahkan tanpa ada pemicu pun seketika teringat. Aku sebentar merenung.
“May, apa yang kaupikir tentang keadaanku sekarang? Bukankah ini hanya sekedar jebakan?” Aku membingungkan diri sendiri, Maya melihatku sambil mengumbar senyum yang benar-benar tak kusukai –sebab tidak cocok dengan situasi saat ini, “Santai Fred, tidak ada jebakan apa pun, hanya saja kau terlalu ambisius, maka setiap keinginan yang tidak tercapai, kau akan merasa gagal dan jatuh semangat, urungkan itu Fred!”
Benar. Aku meyakini bahwa diriku memang sedikit egois, aku harus meredamnya sebelum hal yang sesuai dengan rencana hilang. Liburan akhir semester ini adalah akhir dari keberadaanku, aku harus tinggal di Singapura dalam jangka waktu yang cukup lama. Begitu cukup untuk berpisah dengan gadis itu. Dengan demikian, aku berlatih lebih giat lagi demi mengejar target: gadis itu. Kini aku memiliki instrumen yang ku rancang sendiri. Beberapa kumulai dan hasilnya mendekati sukses, di sinilah akhir kecintaanku terhadap musik instrumen.
“Kau bahkan lebih buruk dari piano rusakku, setidaknya kau tak perlu memainkannya berulang-ulang, nadamu itu cukup panas untuk membakar organ dalam kepalaku,” Raisya dengan sadisnya menanggapi musik instrumen yang berhari-hari ku rancang dengan seenak jidatnya, inilah yang membuatku yakin bahwa aku memang bodoh: memilih gadis yang tak peduli, hanya dapat berceloteh panas. Sekilas aku marah pada diriku dan kepada Maya yang selalu mengiming-imingkan keberhasilan itu. Kebencian akan keindahan, di sinilah fobiaku dimulai.
Dua bulan selanjutnya, aku berhenti dari Grammy Music, meninggalkan yang telah ku raih namun hasilnya tak sesuai harapan. Aku beralih. Singapura lebih memberikan kesempatan untukku mengubah semuanya, sampai akhirnya aku berada di pihak yang nyata.
Genap dua puluh tahun umurku. Maya juga berulang tahun, aku ingin sekali menemuinya, setelah empat tahun meninggalkannya, setelah empat tahun hubungan persahabatan yang dijalin melalui telepon genggam, kini aku ingin melihat wajahnya secara langsung. Aku berangkat ke Indonesia. Singgah di Kota Bandung.
“Fred, setidaknya aku ingin kau ikut denganku, bagaimana?” Tawaran yang tak terlalu sulit dan itu akan kusanggupi. Tujuannya adalah. Ruang yang memberikan semua sejarah selama dua tahun. Grammy Hall. Aku tak suka merayakannya, namun permintaan Maya ini adalah sebagai bayaran atas jasanya dahulu, walaupun kerja kerasnya tak berpengaruh sama sekali kepadaku. Jelas, aku hanya duduk menunggu, seorang yang disebut-sebut sebagai perfect pitch karena memiliki pendengaran yang dapat menyesuaikan melodi dan hafal betul urutan nadanya secara sempurna, itu adalah gelar yang sangat hebat dalam dunia musik. Secara pribadi, aku berapresiasi sekali kepada orang itu, tetapi aku tak ada minat.
“Kau terlihat datar sekali, Fred. Saat si perfect pitch itu tiba, aku bisa jamin bahwa kamu akan terkejut tak karuan.” Ucapan Maya mengandung banyak unsur dan tanda tanya, adakah yang terkejut selain diriku ataukah ada hal yang spesial untuk ku?
Please Welcome, our Perfect Pitch of Grammy’s Music!”
Nada per nada mengalun indah dan lembut. Tetapi aku tak peduli, sampai kusadari bahwa aku sangat kenal melodi ini. Nada ini. Empat tahun lalu, melodi inilah yang membuatku murka kepada seorang gadis, dan seorang sahabatku. Si Perfect Pitch itu mengalunkannya dengan cermat. Di benakku hanya ada pertanyaan besar: dari mana orang itu mendapatkannya?
This is the old instrumental song which written by my lovely pianist, he gave me a lot of inspirations, my hope, he can hears this song anymore and I wish for this melody can carry my forgiveness to him.”
Peluh air mata mengalir seketika, dalam hati menjawab salam itu. I’ve heard your forgiveness, Raisya. I Miss you.
Grammy Hall telah mengakhiri acaranya, semua orang keluar dan kembali kepada kesibukannya masing-masing, begitu juga dengan diriku. Sesaat aku paham, keinginan yang selalu kita harapkan tidak akan selalu sesuai dan memuaskan pada hasilnya, namun tidak menutup kemungkinan jika keinginan itu adalah realita yang tertunda, di satu sisi, kehidupan akan menuntut kita agar lebih realistis dalam berpikir dan menentukan tujuan. Kuharap demikian.
“Bukan berarti aku akan semudah itu membiarkan mu lari dan memaki-maki diriku untuk ke sekian kalinya. Sekarang pun jika kau ingin, aku ada di sini.” Senyuman yang dahulu sengaja kuhilangkan, kini bersinar kembali.

Pengarang                   : Muhammad Iqbaludin

Diselesaikan pada       : 14 Oktober 2014

Share:

0 comments