2# Cluster of Marxent Serial: Ini Sekedar Kebetulan
Ini Sekedar
Kebetulan
Jakarta, 2010.
Pagi buta, waktu yang tepat untuk
menghindari kemacetan kota metropolitan yang semakin lama semakin menjadi, ini
disebabkan meningkatnya pemakai kendaraan pribadi secara bebas, dalam satu
rumah bahkan memiliki setidaknya dua mobil dan satu motor, bila dijumlahkan
dengan populasi masyarakat maka berapa yang akan berlalu lalang di tanah ibu
kota. Setidaknya Frans memiliki satu buah mobil yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi dan sosialnya.
Anak yang terlahir dari darah
Indo-Belanda ini selalu penuh dengan mimpi-mimpi, sebagian mimpi masa kecilnya
terbayar, sebagian lainnya masih dalam penantian. Frans anak tunggal dari
seorang psikiater anak dan wanita karier, di mana memiliki sejarah hitam yang
tak mengenakkan. Semenjak umur empat tahun, kedua orang tuanya mengirimnya ke
Ferri –yang ia sebut opa tanpa ada alasan yang kompleks. Frans kecil hanya tahu
bahwa ia diinapkan dan orang tuanya sibuk.
Menemui opa yang selama ini sebagai
primadona bagi dirinya, orang tua itu gemar sekali mengoleksi kata-kata bijak
orang-orang dahulu, bahkan obsesi akan cerita cinta yang diambil dari mitologi
Yunani dan sangat tidak dipahami oleh Frans kecil. Setiap orang tua itu bercerita
tentang kisah cinta dari yang tidak manusiawi, hingga yang sangat absurd jika
direfleksikan dalam bentuk sebenarnya, seperti Hermafroditos dan Salmakis yang
bersatu menjadi satu kesatuan organ, sehingga memiliki kelamin ganda maka
keluarlah istilah hermaphrodite untuk merefleksikan seseorang berkelamin
ganda. Beberapa kisahnya juga menceritakan perjuangan heroik sang tokoh dalam
menemukan cinta sejatinya, di saat itulah ia berpikir betapa mudanya hasrat
orang tua itu dalam perihal bercinta, namun Frans kecil menikmatinya.
Beberapa pertentangan atas masa
lalunya, kisah yang krusial, dan bayang-bayang ibunya yang tiba-tiba menangis
kemudian hilang keesokan harinya, kini menjadi bumerang positif bagi
keahliannya. Kemampuan menggambar serta selera disain yang baik menciptakan
seorang Frans sebagai Founder Frans Archy Corporation, sebuah korporasi yang
bergerak dalam bidang konsultan jasa arsitektur, karyanya yang bermacam-macam
telah berdiri di ranah internasional, bisa dibilang perusahaan yang sangat melesat
dan menarik banyak pesaing-pesaing profesional.
Frans, seorang pria dengan tipikal
menyenangkan, humoris, tak sedikit wanita melirik walau hanya mengharapkan
hiburan semata. Dengan postur tubuh yang ideal, tidak terlalu pendek dan
tinggi, membuatnya mudah bergerak ke sana kemari dengan gesit, tungkai yang
keras tetapi tidak kaku, yang setiap harinya dilatih agar tidak kenal lelah ke
mana pun ia pergi. Bersama Jonathan, seorang sahabat dari masa mereka bergelar
anak-baru-gede hingga masa usia produktif dan memiliki karier berbeda, ia
mendapat banyak pengalaman berharga dan juga waktu sempit untuk meregangkan
badan secara intensif. Kesibukan selalu menjadi faktor pembatas keinginan
tersebut.
“Pak Frans, kita memiliki problem
serius,” seorang anggota divisi Human Resources bergegas menemui Frans di
ruangannya, “Pak Hermantyo.”
“Ada apa dengannya? Bukankah sedang
menjalani rawat inap?”
“Iya, tetapi pihak keluarganya baru
saja menelepon,” suasana semakin canggung, Hermantyo bukanlah orang biasa di
perusahaan tersebut, jabatannya yang sangat sakral membuat kemajuan perusahaan,
ia seorang sekretaris kesayangan Frans. Masalah apa lagi ini?
“Dia baru saja meninggal pak.”
Tampak riak wajahnya yang mengeras,
lantaran terkejut mendengar informasi dari Bram, seorang anggota divisi Human
Resources yang menangani staf-staf dan anggota perusahaan serta perkembangan
keahlian masing-masing, termasuk memantau staf yang mulai menurun kinerja di
perusahaan. Sebuah jemari yang mulai mengeras dan mengepal, seakan maut orang
itu menghina Frans dengan caranya sendiri, ia tahu masalah yang di dapat
sangatlah menumpuk, sebagai seorang pemimpin perusahaan yang berbakat dan
profesional, ia tidak ingin melihat hal satu itu sebagai penghalang
kemajuannya. Kematian adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa
di tangannya, untuk apa mereka yang ditinggalkan merasa sangat khawatir bahkan
histeris seolah-olah semua manusia dilahirkan untuk menempuh keabadian, tumbuh
kembangnya tidak terhitung, dalam masalah ini intuisinyalah yang dapat
menyelamatkan struktur organisasi perusahaan.
“Kita usahakan untuk berkunjung ke
rumah duka, setelah ini kita rapat.”
Brams melihat jiwa pemimpinnya
mengalir dari mata yang menyatakan keyakinan atas ucapan yang baru saja
terlontar, tanpa ada isyarat apa pun, Brams mengangguk mantap.
“Kita adakan reshuffle
jabatan.”
Bandung, 2009.
Audy tidak sadar bahwa dirinya telah
sangat nyaman menjalani mimpi-mimpi yang diproyeksikan oleh segumpal neuron di
kepalanya dari aktivitas tubuh mungil rentan dengan keadaan lelah itu. Interview
keduanya di sebuah perusahaan milik Frans, seharusnya mulai dari pukul sepuluh
pagi, tetapi nyatanya wajah dengan kelopak mata nan elok itu terus berupaya
menyamankan diri. Ia masih terlelap.
“Aduh, anak mamah satu ini, katanya
mau ada interview terakhir, tapi masih tidur!” wanita paruh baya dengan
setelan kebangsaan ibu-ibu pada umumnya, sebuah daster lusuh, tanda orang yang
ia panggil ‘mamah’ tersebut baru saja bangun dari perihal yang sama,
mengingatkan seorang buah hatinya yang berumur genap dua puluh satu tahun pada
bulan ini.
“Hmpf.. Apa Mah, pagi-pagi sudah
mengomel?”
“Bukan mengomel, katanya kamu ada interview
terakhir, memang jam berapa mulainya?”
“Jam sep...”
Audy melirik jam weker yang telah
lelah membangunkan seorang mayat hidup. Melihat jarum pendek di angka delapan,
ia baru sadar, butuh berapa jam menuju Jakarta? Aduh, bisa-bisa interview
gagal. Mamah, kenapa enggak membangunkanku dari tadi. Sesalnya.
Dengan amat cepat, dalam kurun waktu
sepuluh menit, ia menyelesaikan segalanya, remeh-remeh bahan interview
dan data-data yang diharuskan membawa, juga sertifikat-sertifikat berharga yang
selama ini ia peroleh sebagai hasil jerih payah di perguruan tinggi. Karena
dalih keterburuannya, ia terpaksa meninggalkan ritual keluarganya setiap pagi,
dengan beberapa menu spesial sebagai penghantar keberuntungan Audy dalam hari
pertamanya menginjakkan kaki di sebuah perusahaan besar.
“Ma, aku berangkat dulu ya, aku
makannya di jalan,” orang tua yang memanggilnya pun sedikit kecewa, tapi tak
apa. Semoga anak itu tidak muntah di jalan lagi, ibunya menggeleng.
Dengan blus merah yang cukup
atraktif dengan rok yang menjenjang sampai lutut membuatnya selaras dengan
kulit beningnya, rambut lurus bergelombang hingga punggung adalah gaya
alaminya, ia tidak ingin menampilkan aksen mewah seperti wanita pada umumnya,
ditambah sebuah kaca mata hitam yang menggantung tepat di depan mata, juga
sepatu hak yang memungkinkannya terpeleset jika mengambil tindakan lari.
Keluarlah mobil Jazz berwarna biru langit, sebuah kendaraan roda empat yang
menjadi kunci keberhasilannya sampai atau tidak sampai di lokasi tertuju. Ia
menancapkan kaki untuk melaju sekencang mungkin. Jangan sampai terlambat.
Jakarta, 2009.
Sebuah perjalanan yang begitu
singkat, dengan menempuh jarak lebih dari seratus kilo meter, akhirnya ia sama
sekali tidak tertinggal, melainkan ada celah sepuluh menit untuk berjalan cepat
menuju ruang interview. Kini kedua kalinya ia memasuki sebuah gedung
berlantai lima belas, dengan modernisasi struktur eksterior dan interior,
sangat jernih sekali rasanya, karena gedung yang dilapisi sebuah reflective
film glasses ini memiliki gaya
arsitekturnya sendiri, pada dasarnya kaca yang melapisi gedung berfungsi meningkatkan
sun block pada siang terik, rangkaian baja yang masih terlihat melintang
membentuk pilar-pilar yang indah. Ia berjalan menuju invisible lift dengan
auto dynamic signed-door, nama yang aneh, tapi kepiawaian pintu lift
inilah yang membuatnya begitu terpesona, karena dua dinding berbentuk setengah
lingkaran sebagai batas, apabila seseorang ingin memasukinya maka dua dinding
ini berputar tepat di mana si orang itu berada dan membentuk celah sebagai
pintu, pada dasarnya itu tidak memiliki pintu. Sekali jalan ia dapat melihat
ruang-ruang yang multidimensional, terlihat seperti labirin tunggal yang
berputar-putar, cocok sekali, dengan posisi di tengah ia mendapat kesan estetik
sendiri.
Sekitar lima menit untuk mencapai
ruang paling atas, entah apa yang dipikirkan orang-orang di perusahaan ini
sehingga menentukan sebuah interview hampir dekat dengan atap, ia
menemukannya. Sebuah ruangan dengan disain yang aneh, sebuah pintu kaca
berbentuk seperti telur 2D, ketika melangkah dan melirik tepat di bawah, terasa
seperti melayang, karena benar-benar invisible, yang membuatnya risih adalah
posisi berpakaiannya, ia menyangka bahwa orang-orang di bawahnya dapat melihat
ke langit-langit, padahal, orang-orang di bawah itu hanya melihat sebuah kaca
berwarna hitam legam, sama seperti kaca mobil.
Kepanikan yang ia rasakan ternyata
dapat dilihat oleh seorang pemuda di depannya ini, “Frans, cukup panggil
seperti itu, dan, tenang saja, orang-orang di bawah itu tidak akan dapat
melihat ke atas, karena pada dasarnya konsepnya seperti kaca mobil, kamu enggak
akan bisa melihat ke dalam kan?” Audy yang sudah tersipu dari tadi terpaksa
mengangkat bibirnya dan berlagak biasa saja, “kecuali dari mereka ada yang
memakai teropong tembus pandang,” dilanjutkannya dengan sebuah tawa renyah.
“Akan kupecat orang itu! Yah,
sudahlah.” Menghempaskan badannya ke sebuah kursi wol empuk. Melihat gelagat
orang di depannya dan perkataannya tadi, wajahnya memasang tanda tanya besar.
“Baiklah, maaf atas hal tadi, saya
berusaha membuatnya tidak terlalu tegang, anda sudah siap?”
“Ya.” Jawaban yang terlalu simpel
untuk sebuah interview.
“Umur?”
“21 tahun, beranjak ke 22 bulan
ini.”
“21, hmmm,” tampak berpikir, “bagus!
Aku butuh orang-orang muda yang energic and talented untuk sebuah
perusahaan muda ini, jadi apa motivasimu hingga terlihat niat sekali untuk bisa
bekerja di sini?” Melihat wajahnya yang mulai tidak kaku, namun, dingin.
“Sudah lama saya tertarik dengan
arsitektur, kebetulan saya juga lulusan ITB jurusan yang sama, begitulah.
Motivasi, kalau yang satu itu, pastinya karena keluarga dan cita-cita.”
“Boleh tahu cita-citanya?”
“Penulis paruh waktu...”
“Penulis?” Frans mulai bangkit dari
hempasan di kursinya, mendengar penyataan unik ini, “mengapa bisa sampai di
sini? Padahal menjadi penulis bisa home working?”
“Karena itu saya sadar, manusia
diciptakan untuk saling berbagi dan melengkapi, dengan begitu saya butuh
pekerjaan yang dapat melengkapi kebutuhan saya pribadi, jelas, dan tersistim.”
Elaknya.
Setelah beberapa pertanyaan yang
‘tidak begitu penting’ dan sekedar mengetahui kepribadiannya, Frans memulai interview
secara serius dan berwawasan. Manusia kaca mata itu membuat Frans geger, ia
bisa menjawab semuanya. Pria berjas dan memakai kemeja biru bergaris vertikal
biru gelap tanpa dasi dengan kerah yang tak dikancing itu telah menentukan di
mana jabatan yang sesuai untuknya. Anak ini memang babakan dan gesit,
sekretaris, ya itu dia.
Ajang komprehensif yang singkat,
Frans selaku Founder Perusahaan dan pemilik sah telah membulatkan keputusannya
untuk menjadikan Audy seorang wakil sekretaris utama, karena melihat kesibukan
Pak Hermantyo akhir-akhir ini dan membutuhkan seorang yang gesit juga dapat
mengalokasikan tugasnya sebagai sekretaris.
“Pengumumannya akan segera saya
kirim ke e-mail anda, terima kasih untuk hari ini.” Setelah sekian lama, ia
memanggil rekan office boy demi
menetralkan dehidrasi setelah banyak berbicara selama 30 menit
berangsur-angsur.
“Mendengar beberapa pernyataan yang
telah anda ungkap tadi, saya menjadi ingat masa lalu saya,” matanya
berangsur-angsur terbang jauh. Audy mulai terheran dengan orang yang belum sama
sekali memperkenalkan diri pada awal pertemuan hingga kini, tiba-tiba
menginterogasi, dan, spontan malah mencurahkan cerita personal masa lalunya. siapa
sih nih orang?
“Saya terlalu terobsesi dengan
sesuatu yang, yah, mestinya memang tak usah diobsesikan. Seperti kisah
cinta Yunani kuno, kamu tahu?”
“Ya, sedikit.” Singkatnya.
Setibanya office boy yang
dimintanya membawakan teh hangat tadi, ia mempersilakan Audy untuk santai
sebentar, karena ia tahu setelah ini tidak ada lagi pelamar untuk di-interview.
Basa-basi yang benar-benar membuat
mood Audy untuk mengetahui siapa identitas orang ini, walaupun tidak seberapa,
tapi orang ini pastilah termasuk orang besar di perusahaan, namun ia sangat
berbeda dari orang-orang yang menginterogasinya pada first interview,
seorang bapak-bapak kira-kira 35-40 tahunan yang sudah memiliki anak, matanya
tajam dan terkonsentrasi, tidak melantur ke mana-mana, dan membuatnya begitu
kaku, begitulah gambaran pertamanya, ia kira akan lebih ekstrem lagi pada the
second interview. Perbincangannya selesai.
“Terima kasih untuk hari ini.” Ini
ucapannya yang kedua, sambil mengulurkan tangannya seraya memberi secarik
kertas nama. Sebagaimana kepribadian Audy yang sangat gengsi, ia menyimpan
kartu nama itu untuk dilihat nanti. Mereka berjabat tangan kemudian keluar.
Suasana yang sama, akhirnya ia dapat
kembali ke rumah, namun, karena kesempatannya di Jakarta ia ingin bertemu
seorang sahabat masa kecilnya.
Tempat mobilnya terparkir lumayan
jauh dari pintu keluar, ketika hendak mengambil kunci mobilnya ia melihat
secarik kertas yang ia niatkan untuk dilihat nanti. Ia melihatnya, dan
tercengang. Pantas saja!
Akhirnya mobil Jazz biru langit itu
melesat meninggalkan sebuah interview asyik yang membuat hatinya begitu,
terkesan, ini pertama kalinya ia jatuh oleh perasaannya sendiri. Frans
Aditya, 24 tahun, akan kuingat. Perlahan-lahan, gedung-gedung pencakar
langit itu semakin mengecil dari pandangannya, semakin ia teringat bahwa kehidupan
itu pada akhirnya setiap orang yang merasa dirinya besar pada akhirnya ia akan
mengecil dan berada di mana orang-orang terinjak. Kembalilah ia ke tanah. Maka
sebelum ia mengecil, minimal ia melakukan hal yang terbaik dan bermanfaat untuk
orang lain.
Frans Archy Corporation, Jakarta,
2009.
“Mas Cokro, ini hasil interview
dari ketiga pelamar tadi, saya sudah memprosesnya, tolong hitung dan
informasikan secepatnya ya.”
Orang-orang yang berkecamuk di
ruangan yang pengap oleh data-data rekan kerjanya, sebuah divisi yang mengolah
ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di perusahaan, sibuk mencocokkan data
dan mengakumulasi nilai-nilai interview sesuai prosedur, di luar itu,
Frans sudah memiliki data tersendiri yang kebetulan akan dicocokkan langsung
dan ia kabarkan langsung ke masing-masing pelamar. Ternyata semakin ke sini
semakin berkembang ya, sambil melihat data pribadinya.
“Permisi pak, ini datanya.” Sambil menyerahkan
tumpukan kertas yang tersusun rapi dalam sebuah amplop kelabu. “Terima kasih
mas.” Segera melihat berkas yang diberinya, orang itu melangkahkan kakinya
keluar.
“Sebentar pak,” Frans menghentikan
langkahnya, “saya kan sudah bilang, tidak usah pakai ‘pak’, cukup Frans
saja, lagian saya ini belum bapak-bapak.”
“Iya p-pa... Frans,” kikuk meralat
ucapannya.
“Frans...” memperjelas, “hahaha,
tidak usah dipaksakan, terima kasih untuk berkasnya mas.”
Mengangguk, pergi. Memang anak
muda berbakat, dan sederhana, bos yang hebat.
Frans menemukan kecocokan pada
datanya, sesuai dengan yang telah ia beritakan dalam ajang tanya-jawab
komprehensif, segera melihat profil masing-masing dan mengirimkan congratulation
greetings beserta informasi jabatan yang dipegang sesuai dengan level
pendataan prosedur.
[e-mail to: Audy Ananditha]
Dear Audy Ananditha,
Frans
Archy Corporation would like to say congratulation for the success of your
interview research. Welcome to our company, we hope you will run well and the
target will always be reached.
As I
inform at the very interview process, I will give the concrete notification
about your structure position in our company. We’ve decided you in Vice Main
Secretary. We really excited to corporate with you. More Information We
would like to inform in another time immediately.
We hope
we can establish a good corporation with you.
Yours
Sincerely,
Frans
Selesai sudah tugasnya. Ia tinggal
bersantai sejenak, selagi tidak ada aktivitas berat. Laptop yang sedari tadi
dipakai untuk mengirim data ini-itu, akhirnya dipakai untuk bersantai sejenak.
Frans Archy Corporation, Jakarta,
2010
“Dengan demikian, sesuai dengan
hasil diskusi yang kita dapatkan, struktur baru yang tak terlalu banyak
perubahan dalam pola dasar.” Frans menyebutkan satu per satu strukturnya dari
tingkat terbawah hingga teratas.
“Ricky dalam posisi Vice Main Secretary...”
Belum selesai disebutkan, Audy
sontak terkejut. Apa yang salah denganku? Walaupun ada sedikit
kekhawatiran, ia berusaha menyembunyikannya, tak lama setelah itu. Malah
tercengang.
“Audy Ananditha sebagai Main
Secretary, pengganti Almarhum Bapak Hermantyo.”
Akhirnya pertemuan mereka berakhir,
mereka saling menunjukkan senyum satu sama lain, pertanda bahwa tidak ada
dendam bagi yang turun atau pun yang naik, sebab orang itu selain menjadi CEO
juga menjadi seorang motivator disukai banyak bawahannya, ia selalu berkata
bahwa jabatan bukanlah sebuah acuan utama, ini hanya sebuah apresiasi atas apa
yang didapat, maka berusahalah untuk saling berlomba dalam kebaikan.
Sesosok pria muda sederhana,
seseorang yang selama ini menjadi bahan perhatian khususnya bagi dirinya,
tangan yang keras dan gagah, menjabat tangan mungil yang halus itu. Secara
sederhana itu dinamakan sebuah ‘jabatan tangan’ namun ia memiliki perspektif
yang lain.
“Selamat ya, Mrs. Secretary, semoga
bisa bekerja sama lebih baik lagi,” meluncurkan senyuman yang meronakan kedua
pipinya.
“Iya, terima kasih. Lagian yang ini
sekedar kebetulan, saya juga enggak bisa menyangka.” Singkat, ia tak tahu
bagaimana cara berekspresi selain mengungkapkan kata tersebut.
“Enggak ada yang namanya kebetulan,
inilah hasil kerja kerasmu.”
“Pak ada berkas proposal dari
seorang klien.” Sela seorang karyawan.
“Oh, mana?” Mengambil dan
menyerahkan kepada Audy, “tugas baru untuk jabatan baru.”
Written by. Muhammad Iqbaludin
Original Writing Idea | ©Marxent
Serial Story
Previous
Chapter
|
Next Chapter
|
1# Cluster of Marxent Serial:
The Best Corner
|
3# Cluster of
Marxent Serial: Lebih Indah dari Model 4D Sekalipun
|
Tags:
Marxent Serial
0 comments