4# Cluster of Marxel Serial: Butuh Komitmen

Butuh Komitmen
Seminggu sudah jadwal padat dan kejar tayang terlewatkan, dari sibuk dengan kegiatan meeting, hingga pertemuan-pertemuan guna menyelaraskan keinginan. Cindy tak pernah lepas dari pandangan laki-laki yang dari tadi menatapnya dengan seribu satu khayalan, ia sedang asyik menerangkan metode dan disain minimalis megah untuk hotel tersebut. Mata Frans mengawang-awang entah ke mana.
“Jadi seperti ini,” memastikan lawan bicaranya mendengarkan atau tidak, ia kembali memecah pandangan kosong si bos itu, “Frans, kamu dengarin aku enggak sih?”
Kalimat tadi membuatnya sadar, ia sudah nyaman berada di lingkaran Frans, tak mau keluar. Mereka sudah melakukan pertemuan kedua puluh lima kali, lebih dari tiga bulan dari pekan perkenalannya yang lalu, ia dapat berekspresi dan bertingkah selayaknya ia. Audy yang berada di lingkaran mereka merasa tidak nyaman. Kehangatan mereka mengusik hati kecil, ingin sekali memuntahkan kecemburuan itu menyeluruh, tepat ia berhadapan dengan sahabatnya. Audy memilih diam.
“Iya, aku dengar kok,” menegakkan posisi duduknya.
Ruangan yang sama, dan orang-orang yang masih sama, sebuah basement disulap menjadi bar kopi bawah tanah, namun pemandangannya berbeda. Tingkah bosnya itu lebih pantas disebut memanjakan seorang terkasih dibanding menjalankan rekan kerja, rekaman beberapa bulan lalu yang terus memproyeksikan bagaimana Audy tertarik dengan bos seusia tiga tahun lebih tua, bagaimana perasaannya tentang membangun istana di atas awan, bagaimana ia bisa terbantu atas nasihat-nasihat ringan yang dituturnya saat keadaan spesial. Audy menyeka mata, ada sesuatu yang dimuntahkan kantung matanya. Tak ada yang sadar.
Kisah seperti inilah yang dibenci oleh kebanyakan insan di muka bumi, tragis dan menyakitkan, adakala di saat sudah menemukan yang cocok dan mudah berbaur dengan perasaan, ternyata satu itu menjadikan kita sehelai rumput di padang rumput, merasa indah namun pada dasarnya sama, jikalau rumput-rumput itu dicabut untuk dinikmati, toh, akan ada rumput lain yang sama persis dan mengundang si pemesona untuk mengambil yang baru, membuang yang lama. Cepat sekali berganti hati.
Sesekali Frans tersenyum sendiri saat melihat Cindy asyik berceloteh ini-itu di luar tugas, membicarakan hal yang personal sekalipun, seperti hobi, favorit, apa yang disenangi di rumah, siapa tokoh pujaannya dan, kriteria apa yang membuatnya begitu tergoda menjadikan seorang pujaan hati. Cindy yang cerewet tentunya mudah melantur, bertutur, dan menjawab semua itu. Setidaknya di mata Audy, ikatan sahabat antara dia dan Cindy melebar selebar-lebarnya, butuh waktu mengulur hati, butuh ketegaran untuk menarik kembali. Pikirannya meliang di satu jawaban pasti: kebahagiaan sahabat menjadi prioritas utama.
“Maaf, p-pak, eh, maksudku Frans.”
“Ada apa Dy? Kayaknya kamu kurang bersemangat hari ini?”
“Ada yang harus dikerjakan di ruanganku,” Audy bergegas kembali, keteguhan hatinya memilih berkorban asal tidak kehilangan status persahabatan yang dipupuk sejak kecil. Bunga itu harus tetap tumbuh dan berkembang.
“Sebentar ya Frans,” ekor matanya seraya mengikuti ke mana langkah sahabatnya berjalan, ikatan yang begitu kuat membuatnya begitu sensitif dengan perasaan tak enak. Audy jarang-jarang sekali seperti ini, ada masalah apa dia?
Frans mengangguk mantap, tak sadar bahwa mereka mencoba untuk saling berkompetisi demi dirinya, namun usaha Audy lebih mulia, membiarkan dirinya digerogoti rasa bersalah karena telah memupuk perasaan kepada Frans. Cindy mengejarnya.
“Audy,” meraih lengannya, Audy balik menatap. Kamu terlalu simpati Cindy.
“Kenapa Cindy? Tingkah kamu aneh banget?”
“Ada juga kamu yang kenapa?” melepaskan genggamannya.
“Aku enggak ada masalah kok, yang ada juga sibuk, tuh, berkas-berkas yang gila... tumpukannya sudah menggunung, juga...”
“Kamu bohong.” Potongnya.
Sekeras apapun usaha Audy untuk mengelak dari pandangan si sahabat sekuat itu pula hantaman yang diberikan olehnya. Tak ingin membuat gerak-gerik yang mencurigakan, seakan-akan menunjukkan kecemburuan, sekali lagi ia tak mau.
“Sini sayang, duduk dulu.” Audy menenangkan, “apa yang kiranya kamu lihat?”
Audy memasang tampang sok-tegar, agar dapat mengelabuinya, inilah salah satu cara dari sekian cara yang manjur untuk sekelas orang berintuisi tinggi. Cindy menggelengkan kepala, ia tak bisa melihatnya, persis dugaan Audy. Kini perasaannya bercabang, antara senang dan sedih, dalam hatinya seperti terbakar, bahkan sahabatnya sendiri benar-benar tidak dapat melihat penderitaan, walaupun setetes, di sisi lain ia senang dapat menentang intuisi Cindy.
“Enggak ada kan?” Membereskan bawaannya, “aku balik dulu ke ruangan.”
Seiring langkah Audy yang semakin menjauh, Cindy juga kembali ke lingkaran hangat itu, ia mencemaskan sang sahabat.
“Ada apa Cindy? Kayaknya kalian barusan bertengkar?”
“Bukan itu,” terangnya, “aku tahu ada sesuatu yang mengusiknya. Dia itu selalu begitu deh, mengumpat-umpat selagi ada masalah, padahal dia tahu kalau aku sahabatnya.” manyun kesal.
Frans yang melihat pemandangan seperti itu hanya dapat menyeringai, mulailah muncul kalimat-kalimat dengan kata sandang ‘deh’, membuat Frans benar-benar berhadapan dengan seorang anak kecil yang merengek karena tidak dibelikan permen kesukaan. Tapi Cindy terlihat, sangat manis.
“Sudahlah, tak apa kan?” melambaikan tangan, “namanya juga sahabatan, mana ada yang mulus, tapi sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita saat ini adalah percaya.”
Cindy yang tadi memalingkan wajah, beralih memandangnya, lamat-lamat tenggelam dalam perasaan. Aku tahu, kamu pasti bisa menetralisir perasaan gundah ini, Frans.
Siapa sangka kehangatan itu akhirnya mengecam Audy di sebuah ruangan kerja yang kini terasa amat sangat pengap dari biasanya, napasnya yang tak beraturan akibat menahan tangis, di ruangannya ia bisa melepaskan segalanya. Tak dirasa juga, butiran air mata dari kantung mata Cindy spontan tumpah. Audy, kamu benar-benar enggak apa-apa?
Disela tangisan tersebut, Audy tidak pernah lupa dengan manusia cyber satu itu, seseorang di balik nama Claymore tersebut banyak memberikan kesan-kesan begitu dalam di hatinya, walau sebenarnya mereka saling tak pernah bertemu satu sama lain. Di balik nama Eve Claudya, Audy bersembunyi, dua manusia virtual itu benar-benar telah hidup empat tahun yang lalu tanpa mengenal status masing-masing.
Eve Claudya is connecting now...
“Hai Eve,” spontan memanggil. Sepertinya orang itu benar-benar menunggu.
“Hai juga, kamu apa kabar?”
“Baik, kamu sendiri?”
“Aku lagi gusar nih,” ketiknya penuh harapan.
“Kok bisa? Gusar kenapa?” Bagaimana ya. Audy memutuskan.
“Sebenarnya sepele sih, karena faktor cemburu,” menjeda ketikannya, “yah semacam triangel love gitu deh.”
“Bagaimana ya? Kalau masalahnya begitu, kamu butuh kepastian, antara mengikuti kata hati dan mengikuti keegoisan, namun dari keduanya bertolak belakang, sepertinya demikian.”
“Kata hati? Keegoisan? Maksud?”
“Kamu kenal dengan si orang ketiganya bukan?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Namanya cinta segi tiga itu, pasti dengan orang dekat...”
“Iya, dia sahabatku.”
“Kalau begitu kamu butuh mengikuti apa yang kamu tentukan sendiri, ikuti kata hati, minimal kamu sukses membawa perasaan itu, apalagi sahabat, jangan sampai semuanya kusut karena si ego.”
Kalimat yang barusan keluar dari layar smartphone tersebut membulatkan tekadnya. Benar. Setelah itu, ia menyeka mata yang merah dan betem akibat tangisan tadi. Hari kerjanya tidak begitu baik.
Jakarta Pusat, 2010.
Semburat merah di langit sudah menampakkan wujud, langit rupanya telah meninggalkan birunya, kini sang senja merajai. Sayup-sayup taburan bintang mulai terlihat, mobil-mobil berlomba kembali ke asal, keadaannya seperti biasa. Macet. Tapi Frans sangat menikmati keadaan macet ini dengan seorang wanita yang diam-diam diidamkannya.
“Ih macet!” Cindy langsung manyun.
Frans yang sedang kasmaran tidak begitu merespons, ia lebih suka melihat Cindy seperti ini. Ia mulai terkekeh sendiri.
“Kamu tuh ada-ada saja,” Cindy meliriknya, “namanya juga Jakarta.”
“Permisi mbak, mas...” seorang pengamen mulai memanfaatkan situasi ini demi menafkahkan diri sendiri dan orang lain, mereka merasa beruntung menjadi orang-orang yang punya dan tidak susah mencari uang dengan cara berpanas-panasan di jalanan dan bernyanyi dengan porsi ala kadarnya saja. Frans membuka kaca mobil, memberinya sedikit nafkah yang dimiliki.
“Terima kasih mas, mbak, semoga hubungannya langgeng!”
“Amin!” sontak Frans. Disusul dengan kekehan bodohnya. Cindy tahu, dirinya salah tingkah.
Ciputra Gran, Bekasi, 2010
Frans langsung menghempaskan badannya, tubuhnya terasa amat semangat dan bergairah dari pada biasanya, tanpa berpikir panjang, ia menenggelamkan diri di atas bathtub hangat, sesekali menyeringai sendiri. Waktu berlalu bersama Cindy hanya beberapa jam dan memakan banyak kenangan, bahkan sampai meyakini Cindy akan kembali mencitainya di saat ini, namun hanya saja sudah mengungkapkan. Manusia kasmaran satu itu akhirnya lebih memilih menghempaskan badan di atas sofa empuk sembari menonton berita-berita luar negeri. Diambillah ponsel itu dan menemukan nomor yang sudah tak asing lagi: Jonathan.
Jakarta, 2015
“Memang masa-masa indah itu saat proses PDKT ya,” komentar Inggrid.
“Justru saya lebih menekankan proses pendekatan itu.”
“Baik, kita break dulu!”
Mereka semua bubar jalan sementara, sebagian menetap sedang merapikan skenario yang barusan ditulis, Audy pindah ke outdoor area, alasannya mencari suasana agar tak terlalu pengap. Padahal ia tahu, novel itu mengingatkannya betapa cemburunya ia kepada seorang sahabat sendiri, sekarang, mereka masih kembali mengontak satu sama lain.
“Eh mba’ Audy, sebenarnya, saya ingin tahu maksud mba’ tentang penekanan di proses pendekatan itu.” Perlahan-lahan dan hati-hati, karena Inggris melihat Audy sepertinya tidak begitu stabil, entah apa karena masa lalunya terusik atau tidak, yang jelas, si kacamata tersebut berusaha mengangkat senyumnya.
“Karena proses pendekatan terasa amat menggebu-gebu, karena memiliki tujuan yang pasti, yaitu agar dapat berpacaran.” Pandangannya kembali mengawang, seakan mencerna kembali apa yang diutarakan, “sedangkan ketika kita sudah jadian, maka apa yang sebenarnya dicari? Kalau tujuannya untuk menikah, mungkin akan awet, tapi siapa sih yang terpikir akan hal itu?”
“Oooh,” ikut mencerna perkataan Audy, “benar mba’ saya setuju.”
“Sekarang sih setuju, tapi kesudahannya malah berbalik, apalagi sudah punya pacar,” lanjut Audy, “semua orang memiliki porsi kebutuhan yang berbeda, dalam masalah percintaan, porsi itu akan terasa sangat kecil bagi mereka, oleh karena itu mereka mencoba memperbesar porsi tersebut agar dapat apa yang mereka namakan ‘cinta sejati’, namun di lain sisi, mereka justru mengurangi porsi, sehingga jadilah pertengkaran berujung ‘putus’. Begitulah Mbak Inggris, butuh komitmen.”
Inggrid sedari tadi mengetahui maksud dari ucapan si mata empat yang tengah duduk manis menghadap ke sebuah jalanan yang sudah menyepi, mereka dalam istirahat panjang. Rasa kangen akhirnya merasuk, alat komunikasi bersejarah yang menyimpan nomor itu masih kuat membantunya, orang yang tepat untuk berbagi, orang yang tepat sebagai tempat berkeluh kesah, mengetik nomor yang dituju.
“Halo Dy?”
Hallo too say, tumben menelepon?”  Sayup-sayup terdengar suara dari seberang sana.
“Kamu, apa kabar?”

Dilanjutkan dengan berbagai percakapan, mulai dari skala umum hingga pribadi sekalipun, guratan wajahnya merileks dan tenang, Audy kembali menceritakan masa lalu mereka, sesekali membenarkan kejadian yang keliru.

Previous Chapter
Next Chapter
3# Cluster of Marxent Serial:  Lebih Indah dari Model 4D Sekalipun
5# Cluster of Marxent Serial:  Cooming Soon

Share:

0 comments