3# Cluster of Marxent Serial: Lebih Indah dari Model 4D Sekalipun
Lebih
Indah dari Model 4D Sekalipun
Frankfurt Coffee Shop, Jakarta, 2010.
Sebuah amplop kuning yang ia lirik
sekali lagi menyiratkan betapa keras tugas yang diemban nanti, dengan penuh penasaran
membukanya perlahan. Ternyata proposal perencanaan proyek sebuah vila. Ia amati
satu per satu kalimat yang tertera di dalamnya, sampai ia bosan melihat,
akhirnya langsung menuju poin-poin penting, tak lama ia melihat calon nama vila
tersebut. Findago Villa.
Melihat nama vila tersebut
sepertinya sangat familiar, matanya menyipit dan mengumpulkan konsentrasi demi
menemukan berbagai macam data di berangkas alamiahnya, sebuah peranti tanpa
batas yang bisa mengubah apa pun jika dikehendakinya dalam-dalam. Benar, dia
pernah mendengar seseorang, dia sahabatnya.
“Aku ada proyek lagi nih di
Indonesia.”
“Wah, sudah hebat ya kamu sekarang,
seorang ratu disain interior.” Menyeringai kagum.
“Tapi Dy, tetap saja aku butuh
seseorang yang dapat membuatkan istana itu untukku, sampai kapan pun akan
kutunggu dia.”
“Hahaha, sabar ya.”
Bayangan itu menghilang, ia kembali
dari pandangan kosong. Melirik pada seberkas proposal, sekilas merasa bersyukur
atas kemajuannya saat ini, sekilas juga ia ingat untuk secepatnya mengonfirmasi
bos barunya atas proposal itu. Mengeluarkan telepon genggamnya dan mencari nama
yang tepat. Pak Frans, semoga bisa kemari.
“Permisi Pak Frans, tentang berkas
waktu itu...”
Belum selesai melengkapi, kalimatnya
dipotong, “kamu di mana?”
Sayup-sayup klakson mobil terdengar
di seberang sana, Audy yang ingin meledakkan ketidaksukaannya mewajarkan.
“Di Frankfurt Coffee Shop pak.”
“Kita bahas di sana saja, sampai
ketemu.” Telepon dimatikan. Memang mengagumkan, tapi besar kepalanya itu
yang membuatku muak.
Tak lama, orang itu datang bersimbah
ketergesa-gesaan, seakan ia perlu momen sekecil ini, tapi tidak tahu apa arti
sebenarnya, yang sedari tadi duduk manis menikmati secangkir Mochachino yang
jelas tidak habis-habis, mata orang itu melayang jauh di dalam negeri impian,
ia terus mengaduk-aduk Mochachino yang sudah dingin beberapa menit lalu. Hingga
orang itu datang.
“Melamun melulu nih?”
Tersentak kaget dengan kedatangannya
yang tiba-tiba, “Ah, enggak.”
“Mas, Capuchinonya 2 ya,” seorang barista
ramah mengacungkan dua jarinya, bertanda ia menerima, “dua Capuchino!” teriak
barista tadi.
“Banyak amat pesannya?” Iseng
bertanya, Audy memerhatikan.
Lama ia menggaruk-garuk kepalanya,
sesekali menguap sambil menyembunyikan mulut di balik tangan, tiba-tiba
menyeringai, “maaf, aku sedikit letih, kenapa tadi?”
Pertanyaanku
pun tidak dijawabnya, “Oh iya, ini
tentang berkas proposal itu.”
Audy menyerahkan tumpukan kertas
kepada manusia kejar tayang itu, penampilannya kini sedang memburuk, rambutnya
acak-acak disisirnya pakai jemari, dasi miring yang tak disadari, bosnya dalam
masalah. “Kenapa pak?”
“Ah, tidak ada, hanya saja aku
terlalu memusingkan masalah kantor.”
“Hebat, sampai kapan bakal tahan
dengan hal itu?”
Tersenyum renyah, “entahlah,”
kemudian mengernyitkan dahi, “mungkin sampai aku bisa punya seorang yang dapat
mengisi kesibukanku di dapur.”
Audy paham, tak melanjutkan. Aura
profesionalnya tiba, mereka menyampingkan percakapan barusan untuk lebih
terfokus dengan pembahasan proposal.
“Jadi, ada seorang lagi?”
“Iya, dia dikontrak langsung oleh
pihak rekan.” Terang Audy.
Proyek saat ini adalah sebuah vila
bintang tiga yang tidak terlalu menguras banyak ide, namun sebagai lembaga
profesional sangat minim pemikiran akan hal tersebut, justru mereka
mengusahakan bagaimana vila-vila tersebut dapat memuaskan klien dan penghuni di
dalamnya juga memberikan keuntungan ‘nama baik dan reputasi’.
Tidak biasanya sebuah proposal
seperti ini tidak menunjukkan lampiran kriteria si desainer independen itu,
namun melihat dari portofolionya, membuka mata Frans bahwa orang ini
benar-benar klop.
Ancol, 2010.
Matanya masih menempel pada layar
monitor, gambar-gambar 3D yang berputar-putar di sana mencoba untuk
menyesuaikan ruang dan dimensi, sebuah perencanaan yang ia setujui beberapa
bulan lalu membuatnya benar-benar amazing. Di ruang senyap dilengkapi
dengan air conditioner, tidak terlalu sempit, namun leluasa untuk
melakukan pekerjaan di dalamnya, ruang minimalis modern dengan gaya
kesukaannya: Victoria. Warna soft menggugah hati, perpaduan antara cream
dan putih, tata letak rak buku sekaligus memberdayakannya sebagai objek latar
belakang, pajangan-pajangan berbentuk lukisan abstrak, menyesuaikan dengan wallpaper
ruangan. Masih menatap matang-matang guratan 3D di layarnya. Mencari detil yang
merusak eye-catching disain.
Ponsel yang beberapa menit lalu
berdering, kini kembali berdering. Cindy melihat sekedarnya pada layar ponsel:
Audy.
“Hai Dy?”
“Hai juga say...”
“Eh, yang waktu itu, proyek vila
apa?”
“Findago Vila,” Cindy menjelaskan.
“Wah, kita satu rekan dong?”
“Memang kamu kerja di Frans Archy?”
“Iya,” disusul dengan perbincangan
Audy tentang bagaimana ia dapat diangkat sebagai sekretaris utama dalam
perusahaannya. “Memang deh, sahabatku satu ini cerdas banget,” kalimat
responsif yang membuat Audy begitu bahagia, angin bernama realita
menyadarkannya dari bayangan yang menerbangkan jauh diri Audy, ia kembali,
tidak terlalu bangga.
Mereka berdua adalah rekan masa
kecil, orang tuanya adalah sahabat karib semenjak mereka berusia remaja hingga
saat ini, begitu tuturnya. Rumah Audy sejak SD sangat dekat bahkan menempel,
dan uniknya lagi, berada dalam satu halaman belakang. Audy dan Cindy kecil
selalu bermain bersama tepat di halaman belakang rumahnya, karakter yang
berbeda membuatnya saling melengkapi, Audy yang pendiam dan jarang berbicara
selalu diajak berkomentar macam-macam oleh Cindy yang cerewet guna sahabatnya
itu dapat berbicara walaupun apatah dua patah kata, dan Cindy yang malas sekali
mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahan, selalu diajak belajar bersama oleh
Audy, begitulah kehidupan mereka sejak kecil.
Setelah SMP, kedua keluarga itu
berpisah, orang tua Cindy memiliki banyak cabang perusahaan di dunia, dan orang
tua Audy dinas keluar kota, akhirnya mereka berpisah. Dalam kurun waktu yang
lumayan membuat rindu, selama 4 tahun tidak bertemu, maka Audy orang pertama
yang berkunjung menemui teman sepermainannya. Dengan berbagai macam
perubahan-perubahan, mereka dipertemukan kembali dalam satu proyek kerja.
Frans Archy Corporation, 2010.
“Datanya sudah selesai pak, tinggal
tahap konfirmasi dari pihak ketiga.”
“Ya, silakan taruh di atas meja
saya,” menunjuk sebuah meja terletak di pojok ruangan, Frans menuju ruangan
favorit, di mana dijadikan sebuah bar kopi mini dalam gedung, letaknya di ground
floor, ruangan itu terlihat dari tempat parkir bawah tanah. Ruangan serba
keemasan tersebut sangat berbeda dari penampilan umum gedung di atasnya. Frans
memesan kopi hitamnya sebagai teman peristirahatan.
Berbeda dengan wanita berkacamata
yang selalu sibuk mengurusi ini-itu mengenai berkas-berkas perusahaan dan
beberapa laporan statistik, perkembangan, dan semacamnya. Tiba-tiba seorang wanita
berambut pajang lurus, dengan setelan blus putih dan rok hitam konservatif
seperti umumnya seragam kantor datang menemuinya.
“Cindy?” Secercah rindu memecah
suasana gundah memerhatikan berkas-berkas yang tiada habisnya, ditinggalkanlah
berkas yang baru saja disusun. Mereka berpelukan, sekadar rindu sahabat.
“Kayaknya ada sesuatu nih?” Tanya
Audy penasaran.
“Bos kamu mana?” intonasi bocah yang
mencerminkan keunikan seorang Cindy di mata sahabatnya, ia masih sama dengan
yang lalu. Karena suasana nan sibuk, jadi, Audy mengantarkan sahabatnya ke
ruangan rahasia yang dibangun karena semata-mata hobi.
Dia lagi enggak
on? Frans yang dari tadi memerhatikan kolom chat menunggu
seseorang bernama virtual Eve Cloudya –sahabat cybernya. Audy memecah
konsentrasi bosnya, membawa seorang klien yang tercantum pada proposal.
“Permisi Pak Frans, ada yang ingin
bertemu dengan anda,” menarik sahabatnya ke depan Frans.
“Hmmm...” gaya analisa andalan si
bos itu keluar, “Cindy? Benar?”
“Ya,” Cindy mengulurkan tangan
seraya berjabat, “Salam kenal.”
Frans tahu ini bukanlah negeri
dongeng, ternyata orang yang ia anggap klop itu benar-benar berada di depan,
matanya memicingkan suasana harmonis seperti biasanya, tak ayal jika Frans
mudah sekali menggaet konsumen-konsumen perusahaan hanya dengan sekali kibas
dan tatapan. Mereka bertindak biasa saja.
“Silakan Cindy, ini bos aku, dia
masih muda tapi kompetensinya jauh lebih profesional dibanding umur.” Puji Audy
sebagai kalimat penghantar dan penutup, karena ia akan kembali bekerja.
Di sambut dengan tawa renyah si bos,
“dia memang pintar memuji, sampai pujian ke seratus akan ku angkat dia jadi
penasihat perusahaan,” gumam lelaki tersebut sambil mengambil seruputan ke
sekian kalinya.
“Kamu ngopi atau ngeteh?”
tawar Frans.
“Teh saja deh.”
Mereka berdua saling bertukar
inspirasi, bagaimana uniknya disain Frans yang beraliran dekonstruktivisme, dan
bagaimana kreatifnya disain Cindy dengan olahan warna sempurna sesuai dengan
minat konsumen. Dengan kata lain, mereka mencoba menyatukan chemistry
satu sama lain sebelum memulai proyek besar, begitulah aturan mainnya.
Tak habis-habisnya kalimat yang
membanjiri Frans dengan beragam pembicaraan tentang model-model rumah dan
properti yang sebagai tidak diketahuinya. Matanya tetap memerhatikan, bahkan telinga
yang sedari tadi dijadikan alat pendengarannya tidak lagi terkoneksi, ayalan
Frans jauh dari pada penglihatan, baru ia sadar, manusia berparas indah, hasil
konstruksi tuhan yang maha kreatif di atas segalanya, benar-benar mengagumkan,
dibanding gambar dengan guratan-guratan eksentrik dan impresif, dari pada kreasi-kreasi
insinyur profesional, bahkan lebih indah dari model 4D sekalipun. Ia yang
sangat indah, setidaknya begitu di mata pemegang perusahaan Frans Archy itu.
“Jadi menurut bapak seperti apa?”
Satu kata yang membuyarkan Frans
dari perlintasan khayal yang berlalu lalang di otaknya, seakan-akan tindakan
tadi itu sebagai penurun derajat sosialnya, ia kembali berlaku sang
profesional.
“Sangat impresif sekali!” lanjutnya,
“dan, saya ini masih muda, setidaknya kata panggil Frans saja jauh lebih baik
dari pada bapak.”
“Anda jauh lebih eksentrik dari yang
kuduga.” Perasaan apa sebenarnya ini?
“dan anda jauh lebih unik dari yang
saya kira.” Balas Frans. Menyenangkan sekali.
Satu-dua lagu terlewat, mereka masih
asyik merintis percakapan yang tak kenal lelah, mereka sudah seperti sahabat
lama yang tak pernah muncul berabad-abad, sekali menampakkan batang leher,
keduanya berusaha mengenang-ngenang apa yang telah dialami oleh diri mereka
masing-masing. Sedikit jeda dari percakapan panjang dan beberapa kali adukan
kopi orisinal Frans yang tak kunjung habis, ia melirik kembali ke Smartphone
andalan, melihat lagi.
Dia sudah on? Kepalanya batal memilih, orang yang di depannya sedang asyik
menikmati teh yang dipintanya, seketika pula Frans menatap lamat-lamat kedua
bola mata dengan berpendarnya kilatan-kilatan kuning eksotis dari lampu-lampu
bar, kehangatan yang bercampur dengan aroma khas bas kopi, lalu lalang
pengunjung, dan kehadiran orang tak terduga.
“Siapa yang mengantarmu dari rumah
ke tempat ini?”
“Kebetulan diantar oleh sopir
pribadi orang tua,” jawabnya santai.
“Oh,” singkatnya, “pekerjaan kamu
butuh beberapa jam hingga sore nanti, kebetulan aku juga punya mobil pribadi,
mau diantarkan?”
Mendengar penawaran khusus dari
rekan bisnis barunya, ia tampak sesekali tersipu, entah butuh berapa lama lagi
ia akan menahan keanehan di ruangan ini. Pikirnya, kerjanya saja belum
selesai sudah ditawarkan pulang bareng.
Ekspresi Frans yang sedang menunggu
jawaban pasti Cindy, membuat rona pipinya tak terhentikan, tak ada
kalimat-kalimat penjamah lain untuk menolak, jemarinya sudah terlanjut
bergidik, mata yang terlihat cemas menunjukkan, ia salah tingkah. Ia
mengangguk.
“Baiklah, sampai ketemu nanti sore,
aku ke atas dulu.”
Previous
Chapter
|
Next Chapter
|
2# Cluster of Marxent Serial:
Ini Sekedar Kebetulan
|
4# Cluster of
Marxent Serial: Butuh Komitmen
|
Tags:
Marxent Serial
0 comments