Inspiring Story about True Love 2


2
Malam ini seorang senior yang akan mengajar pada kelas malam hari tidak datang. Hamid selaku ketua kelas menyapa anggotanya dengan tenang, “teman-teman, aku pikir kita lebih baik melakukan hal-hal positif malam ini, aku menawarkan sebuah acara kelas pada malam hari ini yaitu ‘Uji Nyali’ caranya dengan berpidato di depan, tausyiah, memberikan motivasi, bercerita atau apapun itu untuk berbagi, kalian siap?” Ruangan kelas menjadi senyap seketika mendengar pengajuan hai tentang program Uji Nyali tersebut, tak lama, anak-anak kelas mulai mengangguk dan menyadari manfaatnya, maka mereka semua setuju dengan pengajuan Hamid, namun karena anak perempuan di kelas tidak setuju maka laki-lakilah yang mendapat kesempatan ini. Hamid mulai menunjuk orang tersebut dengan cara memberi pertanyaan seputar sains –mereka anggota kelas IPA. Tidak lama, seorang pria yang menurut anak perempuan di kelas itu ‘cool’ tidak dapat menjawab pertanyaan ketua, mau tak mau orang itu harus maju sebagai peserta pertama. Affan namanya.
“Baiklah, teman-teman sekalian,” ia mulai berdiri dengan mantapnya, layaknya seorang motivator yang siap memberikan materi kepada audiensinya, lanjutnya, “saya ingin bertanya pada kalian tentang apa itu sebenarnya cinta? Kenapa selalu kalian bangga-banggakan yang namanya cinta itu?” ia berhenti sejenak dan melirik kepada anak-anak perempuan, “maaf ya merasa namanya disebut, tapi jelasnya bukan itu yang saya maksud,” ruang kelas terisi dengan tawa renyah dari penghuni di dalamnya, “ada yang bersedia memberikan pendapatnya?”
Seseorang tanpa mengangkat tangannya berdehem, “cinta itu di mana kita akan merasa nyaman jika di dekatnya, selalu ada kasih sayang, maka cinta itu adalah di mana akhir dari kesetiaan. Yah, itu menurutku,” Naufal memberikan pernyataannya.
“Ada lagi?”
“Cinta adalah anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepada kita sehingga kita dapat menyayangi orang lain, bahkan cinta itu sendiri datang dari lubuk hati yang terdalam,” tutur seorang anak perempuan sambil terus mengangkat tangannya, anak itu seakan siap mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Affan.
“Baiklah cukup, saya akan lanjutkan,” ia melirik kanan dan kiri, terdapat beberapa anak mengobrol, ada yang menggambar, ada yang bermain ayam-ayaman, bahkan ada yang sempat menahan kantuknya sehingga orang itu terkesan mengangguk-angguk, “CINTA!” dengan suara yang sangat kencang dan berat, “cinta secara harfiah menyayangi, namun makna yang terkandung di dalamnya sering kali terpleset bahkan sengaja diplesetkan oleh orang-orang, “ suasana di kelas semakin tegang, pernyataan Affan mengundang banyak lawan yang siap menerjang, “teman-teman, yang kalian sebut cinta memang benar yaitu sebuah anugerah dan sebuah sifat yang manusiawi, namun cinta yang sering kita maknakan itu terlalu murah sekali untuk mendapat peringkat Cinta Sejati!” pernyataan yang Affan berikan terlalu radikal bagi mereka, sehingga beberapa anak laki-laki ada yang tersenyum licik demi menjatuhkan pernyataannya.
“Kita terlalu bodoh mencari cinta, padahal ada seorang makhluk yang jelas-jelas mencintai kita di saat kita tidak sadar bahwa ia mencitai kita, seorang makhluk yang di akhir hayatnya masih sempat menyebutkan nama orang-orang yang jelas-jelas belum tentu sadar mencintainya, kita tertipu dengan adegan-adegan cinta radikal yang ditayangkan oleh televisi,” kini anak kelas semakin penasaran atas perkataan Affan, sebagian telah mengerti maksudnya dan mengangguk lemah, “Cinta sejati, itulah yang diberikan kepada Allah S.W.T untuk Rasulullah SAW, dan cinta sejati dari Rasulullah kepada umatnya yaitu kita, coba kalian bayangkan, adakah secara logika kita, seseorang yang berpacaran Kartika ia menemukan ajalnya akan mengucapkan nama kekasihnya?” kepalanya mengisyaratkan bahwa hal tersebut tidak ada, “boro-boro mengucap seperti itu, jika kita bisa niatkan sekarang, nyatanya ketika kita menemukan ajal kita hal tersebut tidak akan dapat terucap! Maka itu bukan cinta sejati yang kita dambakan selama ini!
Kita termasuk orang-orang yang curang kawan, bayangkan jika yang kita maksud cinta sejati versi kita, bagaimana jika kita orang yang kita sayang ternyata tidak peduli dengan kita? Apa kita kecewa? Atau malah kita semakin tertantang? Jika kita sudah resmi jadian, apakah kita akan awet selama-lamanya, bahkan 100% memikirkan orang yang kita sayang? “ Affan berdehem sejenak, mengambil napas, “saya kira tidak!”
“Sekarang, pertanyaannya, secara akal sehat, sebenarnya apa yang kita lakukan ketika berpacaran? Kita bisa jawab dengan: menjaga dia, sebagai motivasi belajar, sebagai tempat curhatan dan bercanda, atau malah sekedar melengkapi status?
Secara logika tidak ada tujuan yang masuk akal untuk berpacaran, kalau jawabannya dengan ‘menjaga dia’ memangnya siapa kita? Menjaga diri sendiri Ana masih terasa sulit. Motivasi belajar? Buat apa kita berpacaran dengan orang yang tidak memiliki motivasi belajar sebelum berpacaran? Dan apakah orang itu memang sangat-sangat bodoh hingga memerlukan pasangan agar dia termotivasi? Motivasi terbesar itu diri kita sendiri kawan, ingat itu! Sebagai tempat curhat dan bercanda? Memangnya semati itukah kita sampai-sampai tidak ada tempat untuk curhat dan bercanda selain orang yang dipacari? Berarti secara tidak langsung kita sudah menyekutukan keberadaan Allah dong? Dan yang lebih parah lagi hanya sekedar melengkapi status! Itulah kebenarannya! Kita termakan suasana dan zaman, kita terlalu terobsesi dengan sinetron-sinetron yang yah hanya begitu-begitu saja...
Cinta versi kita itu kualitasnya lebih rendah dari KW!” seseorang memotong pembicaraannya, semua mata tertuju kepada sumber suara, “dari mana Lo tahu, padahal jelas-jelas Lo enggak pernah berpacaran, bilang saja kalau Lo syirik dengan orang-orang gentel seperti mereka yang bisa menyatakan perasaannya secara langsung!”
yah, kalian benar, kemudian untuk apa kalian tertatih-tatih menyatakan perasaan tersebut untuk sebuah barang yang benar-benar tidak ada manfaatnya?”
“ada kok! Bahkan kita lebih termotivasi dengan hal itu!”
“wah, kasihan sekali anda, harus memiliki penyemangat dulu untuk hidup, bagi saya, penyemangat itu sudah lama ada dan menjadikan kita yang seperti ini, jelasnya, berpacaran seperti itu tidak memiliki tujuan yang signifikan selain keuntungannya sebagai ‘Pemuas Nafsu’ !
Coba kalian cari dan sebutkan keuntungan dan tujuan yang jelas dari berpacaran! Siapa yang bisa, maka barulah ia yang benar-benar dapat berpacaran!” Sejenak, anak kelas semakin tercengang dengan apa yang dikatakan oleh Affan, namun secara tidak langsung banyak dari mereka yang menutup hati mereka padahal mereka sadar dan berkata dalam hati ‘yang penting laku daripada Lo’ berkali-kali saat Affan tidak sependapat dengan mereka.
“Kembali lagi, kenapa saya maksud cinta versi kita itu kualitasnya lebih rendah dari KW, karena alurnya mudah ditebak, kembali lagi ke pertanyaan ‘Lo saja belum pernah merasakan!’ untuk apa saya merasakannya, bahkan cinta versi kita itu sudah banyak tertuang dalam novel-novel, cerpen, dan tulisan yang bertemakan cinta, kalian pikir mereka membuatnya dengan merasakannya terlebih dahulu? Jujur, kalau kita ditugaskan oleh guru bahasa Indonesia untuk membuat cerpen bertemakan cinta, maka orang yang belum pernah pun mudah-mudah saja membuatnya! Itulah mengapa saya katakan lebih rendah dari KW!
Bayangkan oleh kalian, siapa yang bisa mempertaruhkan umurnya demi kepentingan kita? Tidakkah securang itu kita, sedangkan kita lupa, terakhir hayatnya beliau berkata ‘wahai umatku, aku berwasiat kepada kalian untuk menjaga shalat kalian dan apa-apa yang menjadi kewajiban kita sebagai umatku’ hingga beliau tidak dapat berucap lagi, akhirnya ia berkata secara perlahan ‘umatku... umatku...’ Itulah kisah cinta sejati yang seharusnya kita teladani, bukan cinta versi kita. Sudahkah kita melaksanakan 2 hal yang Rasulullah minta kepada kita? Baiklah, sekarang, tidak usah takut merasa kehilangan seseorang yang kita cintai, bukan, secara makna bukan cinta tapi yang kita nafsui, maka jagalah nafsu itu, ingat itu bukan cinta karena cinta adalah hal positif yang mendasari sifat manusia kalau konteksnya negatif maka jangan pernah kalian sebut cinta!” Beberapa dari mereka terkejut dengan akhiran yang disampaikan oleh Affan, ia berhasil mengambil simpati anggotanya, bahkan seorang perempuan yang sedari tadi memerhatikan Affan dengan seksama sedikit demi sedikit air matanya membanjiri pipinya tak kuat menahan haru.

Dua jam sudah perkumpulan mereka, bel terdengar dan mereka bergegas merapikan kelasnya dan seorang anak perempuan memberikan sepucuk surat lipat kepada Affan, sambil jalan ia melihat isi suratnya: Fan, sebenarnya, aku menghargai apa yang kamu katakan tadi, tapi sejujurnya aku gak bisa menahan perasaanku kepadamu. Affan sedikit tergoda dengan surat tersebut, beberapa saat ia sadar bahwa ini ujian untuknya, maka keesokan harinya, ia menemui orang yang memberinya surat dan berkata, “saya hargai perasaannya, katakan bahwa dia belajar sajalah yang rajin, dan ingat apa yang orang tuanya inginkan, serahkan perasaan itu kepada Allah saja, sebenarnya saya bingung, kalau saya salamkan seperti ini, ditakutkan ia malah berharap lebih terhadap saya, dan jika tidak, ia bahkan akan terus berharap hingga akan mengganggu semuanya dan aku termasuk orang-orang yang berdosa, maka aku memilih untuk salamkan saja.” Perempuan itu mengangguk mengerti dan pergi. Sekolah berlanjut seperti biasanya.


Share:

0 comments